Herman

BUKA dan Pentingnya Kepemimpinan Perempuan Buruh

Oleh: Saherman


Di tahun 1975, Barbara Wertheimer dan Anne Nelson melahirkan sebuah buku berjudul Union Women: A Study of Their Participation in New York City Locals, sebuah buku yang merangkum hasil survey terhadap 108 warga New York, Amerika Serikat, yang tercatat sebagai anggota tujuh serikat buruh pada perusahaan swasta dan lembaga pemerintah. Temuannya adalah hambatan-hambatan yang menyebabkan perempuan sulit untuk aktif terlibat dan menempati posisi pemimpin di organisasi-organisasi buruh ini. 

Kenyataan bahwa satu perempat anggota serikat adalah perempuan tak menyebabkan perempuan berkesempatan untuk memimpin. Peran ganda perempuan di tempat kerja sekaligus di rumah tangganya adalah kendala utama. Mereka kesulitan untuk membayangkan diri mereka sendiri sebagai pemimpin, kurang percaya diri yang terinternalisasi, serta ketiadaan role models di dalam serikat itu sendiri. Dari segi proporsi, lebih banyak perempuan daripada lelaki yang terlibat di kegiatan-kegiatan serikat, pemilik suara yang lebih banyak, menghadiri pertemuan-pertemuan serta kegiatan sosial dan pendidikan, dan mereka pula yang banyak mengajukan keluhan. Kunci utama untuk meningkatkan keterlibatan perempuan di posisi pemimpin menurut kaum perempuan buruh ini sendiri adalah pendidikan, khususnya program-program yang mendorong serta pelatihan untuk pertanggungjawaban serikat buruh. Artinya, kesempatan lebih besar perempuan untuk menjadi pemimpin serikat adalah dengan mendorong dan memberikan pendidikan (atau pelatihan) yang lebih banyak bagi mereka yang berpotensi menjadi pemimpin. 


Menjadi catatan juga adalah, etnisitas dan nilai-nilai budaya turut mempengaruhi sangat sedikitnya perempuan menjadi pemimpin di organisasi serikat buruh. Tidak heran, bahkan di rumah dan komunitasnya sendiri mereka tak memiliki kesempatan untuk berada di depan. Nilai tradisi, budaya, agama, atau semacamnya telah menghalangi mereka untuk menduduki posisi pemimpin, sebuah keumuman secara global (dimana saja, kapan saja, hingga saat ini!).

Sejak semester kedua tahun 2018 lalu saya terlibat dalam proyek Bersama Menuju Keadilan (BUKA) atau Towards Fairness Together yang dijalankan oleh Care International Indonesia (CII) dan Trade Union Right Center (TURC). Proyek ini dimulai di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, dimana banyak terdapat pabrik-pabrik garmen yang merupakan penanaman modal asing  untuk menghasilkan produk pakaian merek-merek terkenal di negara maju. Proyek BUKA betujuan mendorong dan meningkatkan kemampuan serikat buruh bernegosiasi dengan pihak perusahaan untuk memperbaiki kondisi kerja di pabrik-pabrik melalui perundingan yang disebut Perjanjian Kerja Bersama (PKB). 

Meski diatur secara tegas pada Undang-Undang No.21 tahun 2000 tentang Serikat Buruh serta Undang-Undang No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, memiliki PKB tidaklah semudah yang dibayangkan. Untuk menuju perundingan, sebuah serikat buruh di sebuah perusahaan haruslah memiliki anggota separuh lebih satu dari total mereka yang bekerja disana. Sementara, lebih banyak serikat dengan jumlah anggota kurang dari persyaratan tersebut. Setiap buruh yang masuk diterima bekerja, sedari awal sudah mendapatkan "ancaman" untuk tidak aktif dalam kegiatan dan/atau menjadi anggota serikat jika ingin bekerja lebih lama disana. Sementara, untuk memenuhi standar kelayakan perusahaan ketika menghadapi audit dari pemilik merek dagang yang diproduksi atau lembaga auditor dari luar perusahaan, keberadaan serikat buruh ini dipenuhi perusahaan dengan cara membentuk serikat buruh internal dan tidak independen dari perusahaan itu sendiri. Secara otomatis perusahaan memiliki kendali penuh atas serikat yang terakhir ini.


Perempuan yang bekerja di pabrik-pabrik garmen ini mencapai proporsi lebih dari 80 persen dari total pekerja yang ada. Masalah-masalah khas perempuan pun banyak yang tak terselesaikan meski itu merupakan hak-hak dasar pekerja yang diatur dalam undang-undang dan regulasi ketenagakerjaan lainnya. Sebut contoh misalnya cuti haid, cuti melahirkan yang cukup, ruang laktasi, bebas dari pelecehan seksual, berhak untuk hamil, atau status sebagai pekerja tetap untuk posisi pekerjaan dengan fungsi utama di dalam aktivitas pabrik. Semua itu adalah masalah yang dihadapi tenaga kerja perempuan yang tak kalah penting diperjuangkan selain upah minimum. Care Internasional menyebut bekerja di pabrik ini sebagai Dignified Work atau pekerjaan yang bermartabat, sehingga kondisi kerja pun harus menjunjung tinggi martabat pekerjanya sebagai manusia. Sementara, TURC menamainya sebagai Kerja Layak.


Tujuan proyek BUKA adalah mendorong serikat buruh memiliki posisi tawar yang kuat ketika melakukan perundingan dengan perusahaan. Caranya adalah dengan memanfaatkan data sebagai landasan fakta dalam perundingan. Data yang bersifat umum, diketahui dan dapat diakses oleh khalayak banyak, dapat dipertanggungjawabkan karena dihimpun dan diolah dengan metode yang tepat, adalah data yang memiliki kekuatan yang lebih sabagai modal bernegosiasi. 

Mengingat industri sektor pakaian (apparel industry) mempekerjakan perempuan lebih dari tiga perempat total pekerja yang ada, maka masalah-masalah di pabrik yang spesifik perempuan harus diperjuangkan penyelesaiannya. Data tentang itu pun tentu harus menjadi bagian penting untuk dibawa ke meja perundingan, termasuk dalam pasal-pasal pengaturannya di PKB. 

Minimnya perempuan menempati posisi kepemimpinan di New York pertengahan tahun 1970-an itu pun sama berlaku di sini, saat ini, di Sukabumi. Karena itu pula proyek BUKA juga mendorong perempuan untuk aktif menjadi pengurus serikat, memiliki posisi pemimpin di dalamnya, bahkan terlibat di dalam proses perundingan antara serikat dan manajemen perusahaan. BUKA diimplementasikan dalam bentuk Sekolah Buruh Perempuan Sukabumi, sebuah pendidikan alternatif untuk meningkatkan kemampuan aktivis buruh perempuan untuk siap menjadi pemimpin di organisasinya, serta memiliki kemampuan untuk memperjuangkan pemenuhan hak-hak perempuan di tempat kerja dengan, bahkan, ikut serta dalam tim serikatnya ketika berunding dengan perusahaan.

Sukabumi, 01 Agustus 2019

Saherman
Field Coordinator of BUKA Project, Care International Indonesia

Baca selengkapnya....
Herman

Menanamkan Perilaku Baik pada Anak

Saat itu sudah pukul tiga sore. Aku berjalan menyusuri Hannaford street menuju rumah kediaman kami di ujung jalan itu, di Suburb Page, Australian Capital Territory (ACT). Tak seberapa jauh dari situ ada Saint Matthew's Primary School, sebuah sekolah dasar swasta berbasis agama. Aku melihat seorang ibu berada diantara anak-anak yang pulang dari sekolah sibuk memunguti tissue dan beberapa sampah lainnya di tengah jalan. Aku tertegun, ibu itu tentu sedang menjemput anaknya dari sekolah tadi, melihat sampah entah dari anak-anak yang ada atau orang lain yang membuangnya di jalan itu. Ia tak berteriak pada anak-anak untuk memungutinya, tetapi justru mengambilnya, lalu membawanya dalam sebuah kantong dan tentu kelak akan dibuangnya ke tempat sampah.

Si ibu tak berteriak mengajak anak-anak untuk memungut sampah. Ia melakukannya sendiri, disaksikan anaknya sendiri dan teman-temannya. Ia ingin menunjukkan bahwa setiap orang harus peduli pada lingkungan di sekitarnya. Dan itu adalah pelajaran nilai sosial bagi anak-anak yang menyaksikannya.

Pada kesempatan lain aku menyaksikan anak-anakku di Macquarie Primary School sedang mengikuti sebuah kegiatan. Semua anak-anak berkumpul di halaman, di bawah pohon cemara yang teduh. Mereka sedang menunggu giliran untuk berlari mengelilingi sekolah yang mereka namakan Cross Country.

Seorang anak membuang kulit pisang begitu saja di tanah. Aku mengenali perilaku anak ini yang memang agak berbeda diantara teman-temannya di kelas 6 (Year 6). Seorang ibu di dekatnya, yang aku yakini juga suka memperhatikan anak ini, mengambil kulit pisang tadi dan membuangnya ke tempat sampah. Kulit pisang itu, jika terinjak oleh anak-anak lain tentu akan membuat terpeleset, dan itu tentu membahayakan.

Tak ada tindakan marah dari si ibu, apalagi sampai meneriakinya. Tapi tentu anak itu suatu saat akan sadar kalau ia telah membuat kesalahan dengan membuang sampah sembarangan. Ibu itu sedang memberitahunya dan juga anak-anak lainnya.

Aku tak melihat para orang tua yang suka hadir di sekolah menunjukkan ekspresi marah pada anak-anak yang berbuat salah. Cukup menunjukkan kesalahan mereka dengan sedikit ucapan atau tindakan yang seharusnya dilakukan anak. Meski, kadang juga aku melihat ada beberapa guru agak meninggikan suaranya jika murid mereka tak mematuhi instruksi dari guru, atau melakukan  satu kesalahan perilaku.

Di saat yang lain, anakku bercerita kalau ada temannya yang muslimah (bekerudung) dibully oleh seorang temannya di sekolah. Anak itu berkata dengan kalimat lebih kurang, "Hey, you Muslim. You are terrorist!" Serentak teman-teman anakku mengutuk teman mereka tadi. "You are racist!"

Anak-anak di sekolah itu semua sudah dikenalkan pada nilai-nilai sosial seperti menjauhi sikap, ucapan, dan tindakan rasis dalam kehidupan mereka. Dan itu tertanam dalam pikiran anak-anakku saat ini setelah kembali ke tanah air.

Demikianlah, nilai-nilai sosial ditanamkan di lingkungan sekolah anak-anak kami di Canberra. Sekolah, komunitas sekitar, dan para orang tua diminta untuk saling mendukung terciptanya pendidikan yang baik pada anak-anak. Tidak dengan ekspresi marah secara berlebihan, tetapi dengan menunjukkan perbuatan yang seharusnya dilakukan. Pelan-pelan hal itu tertanam dengan sendirinya.

Baca selengkapnya....
Naning

Uno sang pejuang

Kisah inspiratif :

“One Way Ticket”

Oleh: Sandiaga Salahuddin Uno

Perantauan telah menjadi jejak takdir yang saya terima. Jauh sebelum saya lahir, ayah saya Razif Halik Uno meninggalkan tanah kelahiran Gorontalo merantau di kota Bandung. Ibu saya, Mien Uno, setelah menikah dengan ayah ikut pula merantau meninggalkan kota Bandung menuju pedalaman Rumbai yang kaya minyak. Rumbai adalah tanah kelahiran bagi saya dan kakak, Indra Cahya Uno. Sebagaimana ayah dan ibu, tanah kelahiran tidak pernah menjadi tanah tinggal kami. Pada saat saya duduk di Sekolah Dasar, ayah pindahkerja ke Jakarta. Di ibukota, ayah membangun peruntungan  dan pada saat itu saya berpikir petualangan kami telah mencapai kota impian. Saya pun mulai menggantungkan cita-cita di langit ibukota.

Tidak butuh waktu lama bagi saya untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan di Jakarta. Saya tidak kesulitan mendapatkan teman baru, karena rumah kami selalu menjadi tempat berkumpul teman-teman sekolah. Ini dikarenakan rumah kami selalu dekat dengan sekolah. Dalam hal memilih sekolah, ibu punya prinsip bahwa sekolah harus dekat dengan rumah. Dengan itu, beliau tetap bisa mengawasi kami. Selain itu, kegemaran saya akan olahraga bola basket juga membuka pintu pergaulan. Satu lemparan bola seolah mendatangkan sekeranjang teman untuk saya. Hingga jelang lulus dari bangku SMA, saya menikmati kenyamanan  Jakarta dengan segala dinamika masa remaja. Saya pun mulai menapaki tangga meraih impian sederhana. Saya ingin kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, kemudian dengan titel sarjana bekerja di perusahaan bonafit dengan gaji cukup untuk hidup mapan.

Pada saat semua kenyamanan itu menggenggam hidup saya, ayah menyodorkan sebuah tawaran yang tidak mungkin bisa saya tolak. Tawaran itu berupa sebuah tiket untuk berangkat kuliah ke Amerika Serikat. One Way Ticket, tanpa ada tiket untuk kembali. Satu-satunya cara untuk kembali adalah dengan pergi kesana, menyelesaikan studi sebaik mungkin dan hanya peluang kerja lah yang bisa membawa saya balik ke Jakarta. Sulit untuk mendeskripsikan perasaan saya yang campur aduk pada saat itu. Tetapi yang jelas tidak ada lonjakan perasaan gembira. Saya menerima tawaran itu dan episode perantauan dimulai kembali.

Tanpa internet dan penerbangan murah, dunia pada dekade delapan puluhan tampak sangat luas. Amerika dalam bayangan saya adalah wonderland dengan semua keajaiban yang tampak dalam berita dan film. Ditambah lagi dengan cerita dari orang-orang yang pernah kesana tentang kemajuan yang masih menjadi impian di tanah air. Gedung-gedung pencakar langit, hiruk pikuk megapolitan hingga berjuta orang dari beragam ras dan latar belakang dengan kesibukan tiada henti adalah Amerika di layar kaca. Tetapi pada saat saya menginjakkan kaki di sebuah kota bernama Wichita, bayangan itu memudar menjadi sebuah keterasingan. Dulu pada dekade dua puluhan, Wichita dikenal sebagai “Air Capital of The World” karena di kota itu dibangun beberapa pabrik pesawat terbang, tetapi tetap saja jauh dari bayangan saya sebelumnya tentang Amerika. Tidak ada gedung pencakar langit, malam terasa lebih cepat sepi dibanding Jakarta dan tidak ada keramaian beragam ras, bisa dibilang Wichita hanya dihuni oleh orang-orang kulit putih. Tambahan lagi, saya tiba disana pada saat musim dingin baru saja mulai. Kombinasi yang sempurna untuk kenangan Jakarta yang terus menggelayuti pikiran.

Perlahan saya menyadari, rantau yang asing bagaikan kanvas putih yang luas untuk melukis hidup. Keterasingan menyediakan ruang bagi kita untuk memulai segala sesuatu dari nol sebab tempat yang baru tidak menyediakan masa lalu. Walaupun harus melupakan mimpi kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, saya tetap setia pada impian untuk menekuni bidang akuntansi di Wichita State University (WSU). WSU adalah kampus terbesar ketiga di negara bagian Kansas. Sebagian besar mahasiswanya berasal dari daerah sekitar, tidak banyak yang berasal dari negara bagian lain, apalagi luar negeri. Saya tidak bisa berharap banyak menemukan mahasiswa Indonesia lainnya disini.

Dalam keterasingan itu, insting saya untuk survive semakin terasah. Belajar di negeri orang ternyata bagi saya memberikan motivasi berlipat. Bukan untuk membuktikan diri pada siapapun tetapi lebih pada kebutuhan untuk bertahan hidup.Tidak ada pilihan lain tersedia selain menggondol ijazah tepat waktu dengan nilai yang harus memuaskan. Tidak butuh waktu lama bagi saya untuk menyesuaikan diri dengan ritme kehidupan kampus WSU. Bergelut dengan angka, dari sebuah kewajiban berubah menjadi sesuatu yang menyenangkan. Rutinitas lainnya adalah mendatangi kantor pos yang terdapat di dalam kampus, berkirim dan menunggu kedatangan surat dari tanah air. Berhubungan lewat telepon terasa sulit bagi mahasiswa dengan kantong pas-pasan seperti saya. Tetapi berkirim surat dengan orang tua dan juga dengan pacar yang kemudian jadi istri saya, Nur Asia Uno, membuat saya yang dulu asing dengan dunia tulis menulis menjadi lancar bercerita. Jarak perantauan kembali memberikan bonus untuk saya.

Rutinitas belajar yang benar-benar ditekuni membuat saya tidak punya banyak kesempatan untuk mengembangkan pergaulan lebih luas. Menurut saya, itu adalah pengorbanan yang wajar demi segenggam mimpi bekerja di perusahaan besar demi kehidupan yang mapan. Impian untuk menjadi pengusaha belum ada dalam pikiran saya pada saat itu. Padahal sebenarnya di kampus WSU lah pertama kali secara serius saya mengenal kata “enterpreneurship”. Pada tahun 1988, awal saya kuliah disana, diadakan peletakan batu pertama untuk pembangunan Devlin Hall. Pada tahun 1990, seiring berakhirnya masa studi saya di WSU, bangunan  yang diperuntukkan untuk Center for Enterpreneurship itu selesai dibangun dan berdiri megah di tengah-tengah kampus. Devlin Hall adalah salah satu bangunan kampus pertama di dunia yang diperuntukkan bagi pengembangan wirausaha. Selain itu, di tengah kampus juga berdiri bangunan sederhana yang baru dipindahkan dari Bluff and Kellog Street pada tahun 1986, Pizza Hut Number One. Bangunan itu adalah toko Pizza Hut pertama yang didirikan oleh dua orang mahasiswa WSU pada tahun 1958 yang kemudian menjadi jejaring waralaba yang mendunia. Dan bahkan kelak saya berkesempatan punya kepemilikan dalam jejaring waralaba itu di Indonesia.

Dua tahun tidak terasa sejak ayah menyodorkan one way ticket. Syukur Alhamdulillah, saya tidak sekedar mendapatkan Degree dari W Frank Barton School of Business Wichita State University tetapi juga lengkap dengan predikat summa cum laude. Prestasi akademik di negeri orang itu membuat saya dipanggil pulang kembali ke tanah air, diajak bergabung menjadi Finance and Accounting Officer di Bank Summa. Bank yang dimiliki oleh Edward Soeryadjaya, pada waktu itu merupakan salah satu bank swasta yang tengah tumbuh dengan pesat. Perlahan, impian saya tentang dunia kerja mulai terwujud. Menjadi seorang junior di Bank Summa membuka kesempatan luas bagi saya untuk mengenal dunia perbankan dan keuangan. Saya mengikuti keseluruhan proses yang harus dialami oleh seorang pekerja baru, pelatihan, mendapatkan bimbingan dari senior-senior yang sudah punya nama di dunia perbankan hingga mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang tampak kecil dan remeh bagi banyak orang tetapi penting untuk pengembangan diri.

Di tengah gairah baru dunia kerja itu, Bank Summa memberikan kesempatan kepada saya untuk melanjutkan pendidikan Master of Business Administration di George Washington University, (GWU) Washington DC.  Rantau Amerika tidak lagi terasa asing bagi saya. Saya menikmati tugas belajar dari tempat kerja ini. Mimpi indah menyeruak di awang-awang, tentu setelah menyelesaikan pendidikan Master ini saya bisa meniti karier lebih tinggi di Bank Summa. Suasana DC dimana terdapat jauh lebih banyak pemukim Indonesia dibandingkan di Wichita juga membuat saya semakin nyaman. Satu tahun pertama pendidikan di GWU berjalan dengan lancar. Saya juga punya kesempatan untuk terlibat aktif dengan perkumpulan mahasiswa Indonesia di Amerika.

Akhir dari setiap mimpi, baik atau buruk, adalah terbangun dalam kesadaran. Mimpi indah saya pada tahun pertama kuliah di GWU tiba-tiba berhadapan dengan kenyataan yang belum pernah terpikirkan sebelumnya. Di tanah air, Bank Summa mengalami kesulitan likuiditas yang berujung pada kasus kredit macet. Om Williem, -William Soeryadjaya, turun tangan mengambil alih kepemilikan Bank Summa hingga kemudian menjaminkan kepemilikan sahamnya di aset paling berharga milik keluarga Soeryadjaya, Astra. Tetapi semua usaha yang dilakukan oleh Om Williem, -yang pada akhirnya kehilangan kepemilikan di Astra, tidak bisa menyelamatkan Bank Summa. Dampaknya bagi saya yang jauh berada di Amerika sungguh sangat terasa. Beasiswa saya terhenti justru di tengah gairah saya ingin segera menyelesaikan program Master ini. Bagi saya saat itu, sungguh tidak etis di tengah badai besar yang tengah dihadapi Bank Summa, untuk menanyakan kelanjutan beasiswa.

Di tahun 1992 itu, saya seolah kembali memegang selembar one way ticket. Mimpi-mimpi indah yang sempat terbang di langit cita-cita, satu per satu pecah bagai gelembung yang tidak berdaya. Perantauan kembali menguji insting saya untuk survive. Untuk menyelesaikan studi ditambah lagi dengan biaya hidup di Amerika, tabungan saya pada saat itu jauh dari cukup. Tidak banyak yang bisa saya simpan dari hasil bekerja selama satu setengah tahun di Bank Summa. Saya merasa pada saat itu, sudah tidak pantas lagi merepotkan orang tua dengan  kesulitan yang saya hadapi. Masalah terhentinya beasiswa ini saya simpan rapat dari orang tua hingga saya berhasil menyelesaikan studi di GWU. Satu-satunya pilihan yang tersedia adalah mencari pekerjaan dan dengan uang dari hasil pekerjaan itu saya bisa terus melanjutkan kuliah.

Pada saat kehidupan menantang saya untuk bertahan maka pada saat itu saya bersiap untuk melakoni pekerjaan apapun sepanjang halal dan cukup untuk menyelesaikan studi. Bahkan sempat terpikir untuk menjadi tukang cuci piring atau tukang bersih-bersih. Untunglah, dengan prestasi akademik di atas rata-rata pada saat itu, saya bisa melamar pekerjaan menjadi asisten lab di GWU. Pada saat itu saya mendapatkan bayaran US$ 3 perjam. Pekerjaan itu tidak lama saya tekuni, karena kemudian terbuka kesempatan untuk pekerjaan dengan gaji lebih tinggi menjadi Tutor dengan gaji US$ 6 perjam. Bekerja sambil kuliah di negeri orang benar-benar menjadi ujian disiplin hidup. Saya harus pintar-pintar membagi waktu, agar pekerjaan bisa mendukung kuliah yang tengah saya tempuh, bukan sebaliknya. Disini pula saya menyadari pentingnya menetapkan target dan prioritas. Target saya dalam bekerja adalah untuk mendapatkan uang demi menyelesaikan kuliah. Artinya kuliah menjadi prioritas utama yang harus didukung oleh kesungguhan saya dalam bekerja. Puji syukur ke hadirat Allah SWT, saya mampu melaluinya dengan baik. Saya tidak sekedar berhasil menyelesaikan studi di GWU, tetapi kembali lulus dengan predikat summa cum laude.

Usia saya dua puluh tiga tahun ketika menggondol gelar Master of Business Administration dari George Washington University. Dengan usia yang masih muda itu, ada godaan untuk menerima pekerjaan lain di tengah ketidakpastian yang menyelimuti Bank Summa. Mimpi untuk bekerja di perusahaan besar dan hidup mapan masih mungkin saya rangkai kembali. Tetapi sejak kecil saya terbiasa loyal dengan satu hal. Saya loyal dengan satu olahraga, bola basket. Saya loyal dengan satu wanita, dari pacaran hingga menjadi istri saya, Nur Asia Uno. Saya juga loyal dengan bidang finance yang saya tekuni. Dan menurut saya adalah penting untuk loyal pada bank yang telah memberikan saya kesempatan bekerja dan kemudian bahkan untuk melanjutkan studi  Master di Amerika.  Kalau pun karir saya harus berakhir, saya ingin keputusan itu datang dari orang yang mempekerjakan. Saya kembali ke Indonesia, tetap dengan status sebagai karyawan Bank Summa.

Pada tanggal 14 Desember 1992, Bank Summa dilikuidasi oleh Bank Indonesia. Saya kehilangan pekerjaan. Loyalitas buta saya sepertinya kalah telak oleh kenyataan. Tampak di permukaan memang seperti itu. Tetapi sebenarnya yang terjadi, itulah masa-masa yang penting dan berharga dalam hidup saya. Saya punya kesempatan untuk melihat lebih dekat bagaimana Om Willem, mentor bisnis yang sangat saya kagumi, mengelola krisis. Dari Om Willem saya belajar, bahwa bisnis lebih dari sekedar masalah untung rugi tetapi tanggung jawab. Begitu banyak yang dikorbankan oleh Om Willem demi mengembalikan uang nasabah di Bank Summa, hingga akhirnya Astra yang dibangun dan dibesarkannya berpindah kepemilikan. Dalam jangka panjang, krisis yang dialami oleh tempat saya bekerja ini memberikan pelajaran yang jauh lebih besar pada saat nantinya saya menangani perusahaan-perusahaan termasuk perbankan yang tengah “sakit”. Seringkali saya berpikir, bila pada titik krisis di tahun 1992 itu saya memutuskan meninggalkan Bank Summa begitu saja, tentu saya tidak akan pernah bisa berjalan sejauh ini di dunia bisnis. Itulah pelajaran dari pohon loyalitas yang buahnya saya petik di masa depan.

Kehidupan terus berjalan. Jarum jam tidak pernah menunggu kita untuk bergerak. Saya memutuskan untuk kembali mengadu peruntungan di perantauan. One Way Ticket membawa saya ke negara tetangga, Singapura. Setia dengan bidang yang saya tekuni, keuangan, saya bekerja sebagai finance and invesment analist di Seapower Asia Invesment Limited. Setahun kemudian, karirnya saya menanjak ketika bergabung dengan MP Holding Limited Group sebagai Investment Manager. Pada tahun 1995, ketika menginjak usia dua puluh enam tahun, saya bergabung dengan NTI Resources Ltd, Kanada sebagai Executive Vice President.  Pekerjaan ini membawa saya kembali ke tanah Amerika Utara, tepatnya Calgary Canada. Di usia yang masih muda itu, saya sudah bisa menghasilkan pendapatan dollar “enam digit”. Apabila kesuksesan diukur dari kecepatan menghasilkan uang, maka pada usia dua puluh enam tahun saya telah mengukir kesuksesan. Tetapi masalahnya, roda kehidupan saya tidak pernah berhenti. Malah roda itu berputar lebih cepat dibandingkan dengan roda kehidupan banyak orang.

Dengan semua capaian yang saya dapatkan, pada saat itu saya merasa sudah bisa untuk membeli “tiket kembali” dari one way ticket yang dulu diberikan oleh ayah. Mimpi-mimpi masa remaja tentang kehidupan yang mapan telah menjadi kenyataan. Realitas itu semakin lengkap ketika saya memutuskan untuk menikahi kekasih saya sejak masa remaja, Nur Asia Uno pada tahun 1996. Satu tahun kemudian lahirlah putri pertama kami Anneesha Atheera Uno. Tetapi justru di tengah kesempurnaan hidup ini, ujian hidup yang sangat besar menunggu saya. Pada awal tahun 1997, krisis ekonomi mulai merambat dan perlahan melilit beberapa negara Asia. Dimulai dari terpukulnya mata uang Baht Thailand akibat aksi spekulasi besar-besaran, krisis ini kemudian menjalar ke negara-negara Asia lainnya. Perusahaan tempat saya bekerja benar-benar mengalami pukulan hebat akibat krisis ini. Sejak pertengahan tahun 1997, bisa dikatakan saya tidak pernah lagi menerima gaji dari tempat saya bekerja walaupun masih menjalankan tanggung jawab sebagai salah satu eksekutif perusahaan. Tanpa gaji, mungkin saya masih bisa bernafas dengan mengandalkan tabungan yang ada. Sayangnya, mungkin karena kepercayaan diri yang terlalu tinggi karena berhasil mengelola dana investasi orang lain, saya menginvestasikan sebagian besar tabungan di pasar modal yang kemudian ambruk.

Saya pulang ke Indonesia nyaris tanpa membawa apa-apa. Bahkan di Jakarta saya belum sempat menyiapkan sebuah rumah untuk keluarga sehingga harus menumpang di rumah orang tua. Sempat terlintas dalam pikiran saya, betapa kejamnya kehidupan ini, menerbangkan dan kemudian menghempaskan saya dalam tempo yang begitu cepat. Tetapi lambat laun saya mulai bisa menerima ujian hidup itu dengan keikhlasan. Hingga kemudian saya mengubah cara pandang terhadap ujian yang datang ini. Betapa murah hatinya kehidupan, memberikan pelajaran nyaris lengkap dalam tempo singkat kepada saya. Dalam tempo hampir sepuluh tahun sejak ayah memberikan one way ticket, saya telah melewati begitu banyak hal. Bertahan dalam keterasingan di Wichita, bergumul dengan mimpi yang nyaris sirna, menikmati impian masa remaja hingga sekarang saya seolah memulai segala sesuatunya kembali dari nol. Bila saya tidak pernah jatuh dengan keras maka saya tidak akan pernah belajar untuk bisa berdiri dengan kokoh.

Di tengah badai krisis ekonomi yang menerjang tanah air, mustahil bagi saya untuk menemukan peluang kerja baru. Sementara saya tidak lagi hidup sendiri. Ada istri dan anak yang masih bayi yang harus saya hidupi. Saya tidak mungkin menghabiskan waktu duduk menunggu badai krisis ini berlalu. Satu-satunya pilihan untuk bertahan pada waktu itu adalah dengan keluar dan berjuang di tengah-tengah badai. Pada saat semua pintu pekerjaan tertutup, saya harus menciptakan lapangan pekerjaan untuk diri saya sendiri. Menjadi pengusaha dengan cara berwirausaha tidak pernah terlintas di benak saya sebelumnya. Tetapi saya tidak punya pilihan lain untuk bertahan pada waktu itu. Berbeda dengan sebagian besar pengusaha muda lainnya, dalam darah saya tidak mengalir darah pengusaha. Ayah saya adalah seorang karyawan perusahaan minyak, sementara Ibu seorang pendidik. Dalam lingkaran keluarga dekat, juga tidak seorang pun yang menjalani kehidupan sebagai pengusaha. Dari seorang karyawan menjadi pengusaha seperti perantauan baru bagi saya. Dunia wirausaha menjadi kanvas putih yang akan saya lukis dalam rentang usia berikutnya.

Seringkali dalam berbagai kesempatan saya mengatakan, bahwa saya menjadi seorang pengusaha adalah karena kecelakaan. Bila saya boleh jujur, alasan yang lebih pantas sebenarnya, saya menjadi pengusaha demi bisa memenuhi kebutuhan susu anak saya. Pada saat memulai usaha bersama sahabat saya sejak SMA Rosan  Perkasa Roslani, kami lebih mengandalkan insting untuk bertahan hidup ketimbang perencanaan bisnis yang komprehensif. Sesuai dengan bidang yang saya tekuni, perusahaan yang kami dirikan pada tahun 1997 itu, Recapital, awalnya bergerak dalam jasa penasihat keuangan. Kantor kami luasnya tidak lebih dari lima puluh meter persegi dengan karpet berwarna merah muda. Pernah suatu hari saya berniat meminjam uang kepada Rosan untuk kebutuhan keluarga sehari-hari sebesar tiga juta rupiah, ternyata Rosan cuma punya lima puluh ribu rupiah. Untuk bertemu dan rapat dengan klien terpaksa kami menggunakan mobil Suzuki Katana pinjaman dari orang tua. Saya coba membuka kontak kembali dengan klien-klien dari luar negeri yang dulu saya dapatkan ketika bekerja di luar. Sementara di dalam negeri, pergaulan ibu saya yang luas, membuka banyak pintu bagi kami walaupun itu belum berarti kesepakatan bisnis. Semua perjuangan itu perlahan membuahkan hasil ketika kami mendapatkan klien-klien pertama kami, Ramako Group dan Jawa Pos Group.

Saya memantapkan diri untuk menjadi pengusaha. Bukan semata-mata karena Recapital mulai menunjukkan hasil tetapi karena saya mulai percaya bahwa saya pulang ke tanah air bukan sebagai orang yang gagal. Justru sebaliknya, saya pulang sebagai orang yang berhasil ditempa oleh waktu dan nasib. Pengalaman adalah modal penting dalam dunia usaha, tidak bisa didapatkan di bangku sekolah dan juga tidak bisa didapatkan dengan uang. Pengalaman berharga hanya bisa didapatkan sepanjang kita hidup dalam prinsip-prinsip yang secara utuh diterapkan dalam menghadapi berbagai keadaan. Prinsip hidup yang kuat tidak sekedar tumbuh dari sikap melainkan kebiasaan. Disiplin, loyalitas, target, prioritas serta keikhlasan, Alhamdulillah, sikap itu mengakar jadi kebiasaan hidup saya. Inilah nilai-nilai yang banyak membantu saya di masa-masa sulit. Tabungan dalam bentuk harta kekayaan suatu saat mungkin habis atau berkurang, tetapi tabungan pengalaman senantiasa akan bertambah sepanjang hayat dikandung badan.

Recapital bukanlah akhir dari perantauan saya. Perjalanan hidup mengajarkan, dunia tidak pernah memberi ruang yang cukup bagi saya untuk berhenti dan sekedar menikmati kenyamanan. Dia selalu datang menggoda lewat tantangan dan ujian. Pada tahun 1998, ketika mengunjungi mentor saya Om Willem di kantornya jalan Teluk Betung, saya bertemu dengan salah satu putra Beliau Edwin Soeryadjaya melalui kolega lama dari NTI, Andreas Tjahjadi. Dari pertemuan tidak sengaja itu, Edwin mengajak saya untuk terlibat membantu sebuah transaksi bisnis yang tengah dilakukannya. Ternyata pekerjaan itu jauh lebih sulit dari yang saya pikirkan karena di tengah krisis kepercayaan dunia terhadap Indonesia kami harus meyakinkan investor asing untuk kembali menanamkan modalnya disini. Butuh waktu enam bulan untuk menyelesaikan transaksi ini. 2 Desember 1998 adalah tanggal yang tidak mungkin saya lupakan, karena bertepatan dengan kelahiran putri kedua saya Amyra Atheefa Uno  di rumah sakit Medistra, kami berhasil melakukan transaksi. Itulah inisiasi awal untuk kemudian saya memutuskan secara penuh bergabung bersama Edwin di bawah bendera Saratoga.

Dua orang putri saya ternyata membawa jejak peruntungan sendiri-sendiri. Recapital rejeki Atheera dan kemudian Saratoga rejeki Amyra. Alhamdulillah, sekarang kebagiaan keluarga kami bertambah lengkap dengan hadirnya Sulaiman Saladdin Uno, anak ketiga saya yang baru lahir. Saya tidak mau menduga-duga, jejak seperti apa yang akan dibawa oleh Sulaiman. Saya ingin hidup tetap menjadi kado penuh misteri yang indah pada waktunya nanti. Sekarang Recapital dan Saratoga telah menjelma menjadi salah satu kekuatan swasta nasional. Bukan licin jalan beraspal yang kami lalui untuk sampai seperti sekarang ini. Tetapi belukar penuh duri dimana kata penolakan akrab di telinga. Saya tidak pernah menghapus kata gagal dari kamus hidup saya. Sebab saya percaya bahwa kegagalan adalah komplemen serasi dari kesuksesan. Recapital di awal berdirinya, seringkali gagal mendapatkan pinjaman dari Bank. Bahkan di tengah kemajuannya, beberapa kali kami juga gagal dalam transaksi penting. Saratoga di awal tahun saya bergabung malah mendapatkan ujian yang menguras emosi kami. Betapa tidak, pada tahun 1999 kami memiliki kesempatan untuk  mengelola kembali “the dream Company”, Astra Group , melalui pelelangan BPPN, tetapi kami gagal. Rendezvous Edwin dan saya yang memiliki keterikatan dengan Astra tidak pernah terjadi. Keberhasilan tidak lebih dari persekutuan positif kita dengan kegagalan.

One Way Ticket. Saya percaya bahwa kehidupan hanya menyediakan satu tiket pergi tanpa kembali. Tidak ada tempat untuk kembali, yang bisa kita lakukan hanyalah membuka lembaran baru dengan belajar dari pengalaman di masa silam. Karena hanya ada satu tiket pada setiap kita, kenapa kita harus menumpang pada mimpi orang lain. Itulah yang mendasari gagasan saya tentang kewirausahaan. Dimana kita tidak hanya membuat diri sendiri berdaya tetapi juga saling memberdayakan sesama manusia. Kita merantau atau berdiaspora untuk sepetak tanah yang dijanjikan. Luasnya hanya kurang lebih  dua meter persegi. Satu tiket yang kita miliki sekarang lah yang menentukan apakah di atas permukaan tanah itu akan tumbuh semak belukar atau sebuah nisan sederhana yang senantiasa mengundang mata. Ingatlah, bumi itu bulat, kita hanya butuh satu tiket untuk bisa mengelilinginya..

Baca selengkapnya....
Naning

Perhatikan pak ..bu..bro

Sayyidina Ali bin Abi Talib  telah berkata:

Simpan rahasiamu berdua saja:

1. Dirimu
2. Allah swt

Jagalah di dunia ini dua keredhaan:

1. Ibumu
2. Bapamu

Mohonlah bantuan ketika susah dengan dua hal:

1. Sabar
2. Solat

Jangan risau dua hal ini:

1. Rezeki
2. Ajal

Kerana keduanya berada di bawah kekuasaan Allah swt.

Dua hal yg tak perlu diingat selamanya:

1. Kebaikanmu terhadap orang lain.
2. Kesalahan orang lain terhadapmu.

Dua hal yang jangan dilupakan selamanya:

1. Allah swt
2. Alam Akhirat

Selalu dekat dengan 4 orang ini:

1. Ibumu.
2. Ayahmu.
3. Saudara lelakimu.
4. Saudara perempuanmu.

Empat orang ini janganlah kamu kasar kepada mereka:

1. Yatim
2. Miskin
3. Fakir
4. Orang Sakit

Empat hal yang memperindah dirimu :

1. Sabar
2. Tabah
3. Tinggi ilmu
4. Dermawan

Empat orang yang hendaknya kamu dekati:

1. Orang yg Ikhlas
2. Orang yg setia
3. Orang yg dermawan
4. Orang yg jujur

Empat orang yg hendaknya jangan kamu jadikan teman:

1. Tukang bohong
2. Tukang curi
3. Tukang hasut
4. Tukang adu domba

Empat orang ini jangan sampai kamu tahan kedermawananmu terhadap mereka:

1. Isterimu
2. anak2 mu
3. Keluargamu
4. Sahabatmu

Empat hal yang hendaknya kamu kurangi:

1. Makan
2. Tidur
3. Malas
4. Bicara berlebih2an/gosip

Empat hal yang jangan kamu putus :

1. Sholat.
2. Qur'an.
3. Zikir.
4. Silaturrahmi.

Baca selengkapnya....

Bu, anaknya sudah 4 tahun kok belum sekolah?

- ini jawabannya-

🌼🌿🌼🌿🌼🌿🌼🌿🌼🌿🌼🌿🌼🌿🌼🌿🌼

Jika Anak Sekolah Terlalu Dini
(Elly Risman, S. Psi)

1. Keyakinan umum...
* Otak anak usia dini seperti spons, artinya ini masa yg tepat untuk ditanamkan ilmu, agar anak tumbuh cerdas
* Semakin dini disekolahkan, otak anak semakin berkembang.

2. Sehingga...
Ada ortu yg menyekolahkan sedini mungkin, bahkan ada yg masuk prasekolah diusia 1,5-2 tahun.

3. Mari kita bercermin...
* Apakah kita begitu meyakini bahwa anak harus segera pintar agar siap menghadapi persaingan zaman?
* Apakah kita disiapkan mjd orang tua?
* Apakah memiliki bekal yang cukup dlm mengasuh?
* Bagaimana innerchild diri kita?

4. Betapa kita disiapkan untuk menjadi ahli namun tdk disiapkan jadi orangtua, shg tidak punya kesabaran & endurance utk jadi ortu.

5. Ilmu yg kita miliki untuk mengasuh pun serba tanggung.
Ilmu yg setengah-tengah, berujung pada false belief (keyakinan yg salah).
Sayangnya false belief ini dpt berubah menjadi societal false belief (keyakinan yg salah pd sekelompok orang).
Jika ortu tdk memiliki kemampuan berpikir (thinking skill) yg baik, false belief akibat ilmu yg serba tanggung itu jd pembenaran bersama atas keputusan kita yg keliru.

6. Pintar ada waktunya!
Karena yg berkembang adalah pusat perasaan, anak usia dini hrs jadi anak yg bahagia, bukan jd anak yg pintar!

7. Kita berpikir...
"Kan di sekolah belajarnya sambil bermain"
"Kan anak perlu belajar sosialisasi"
"Kan anak jd belajar berbagi & bermain bersama"
Padahal...
* Anak usia dini belum perlu belajar sosialisasi dg beragam orang
* Saat anak diusia dini, otak anak yg paling pesat berkembang adl pusat perasaannya, bukan pusat berpikirnya.

8. Di sekolah, kegiatan anak hanya bermain kok!
Taukah ayah bunda, permainan terbaik adalah tubuh ayah ibunya! Bermain dg ayah ibu jga menciptakan kelekatan. Misal: bermain peran, bermain pura-pura, muka jelek, petak umpet.

9. Di sekolah, mainan lebih lengkap.
Permainan paling kreatif adalah bermain tanpa mainan. Jangan batasi kreatifitas anak dg permainan yg siap pakai.
Contoh: karpet jadi mobil, panci jadi topi.

10. Di sekolah, anak belajar bersosialisasi & berbagi.
Anak <5 th blm saatnya belajar sosialisasi. Ia blm bisa bermain bersama. Mereka baru bisa bermain bersama-sama.
Bermain bersama-sama= bermain diwaktu & tempat yg sama namun tdk berbagi mainan yg sama (menggunakan mainan masing2)
Bermain bersama= bermain permainan yg membutuhkan berbagi mainan yg sama.

11. Di sekolah, anak belajar patuh pada aturan & mengikuti instruksi.
Aturan & instruksi perlu diterapkan setahap demi setahap. Jika di rumah ada aturan, di sekolah ada aturan, berapa banyak aturan yg harus anak ikuti? Apa yg dirasakan anak?
Analogi: Seorang anak <5 thn yg sangat berbakat dlm memasak, dimasukkan ke sekolah memasak. Di sekolah itu, dia diajari berbagai aturan memasak yg banyak, dilatih oleh beberapa instruktur sekaligus. Yg dirasakan anak: pusing!

12. Memasukkan sekolah anak terlalu dini, sama seperti menyemai benih kanker.
Kita tidak tahu kapan kanker akan muncul & dlm jenis apa.
Otaknya belum siap. Kita tidak pernah tahu kapan ia kehilangan motivasi belajar.
Semakin muda kita sekolahkan anak, semakin cepat pula ia mengalami BLAST (Bored Lonely Afraid-Angry Stress Tired).
anak yg mengalami BLAST, lebih rentan mjd pelaku & korban bullying, pornografi & kejahatan seksual.

13. Jika si adik ingin ikut kakaknya sekolah...
Sekolah itu bukan karena ikut-ikutan. Anak harus masuk masa teachable moment, krn memang ada anak yg mampu sekolah lebih cepat dr ketentuan umum yg berlaku. Ortu harus mampu mengendalikan keinginan anak. Kendali ada ditangan ortu, krn otak anak belum sempurna bersambungan.

14. Ciri anak memasuki masa teachable moment.
* Menunjukkan minat utk sekolah
* Minat tersebut bersifat menetap
* Jika kita beri kesempatan untuk bersekolah, ia menunjukkan kemampuannya.

15. Kapan sebaiknya anak masuk sekolah?
* TK A → usia 5 th
* TK B → usia 6 th
* SD → usia 7 th
Dibawah usia 5 th, anak tdk perlu bersekolah.

Kebutuhan anak 0-8 tahun adalah bermain & terbentuknya kelekatan.

Jangan kau cabut anak2 dari dunianya terlalu cepat, krn kau akan mendapatkan orang dewasa yg kekanakan.
-Prof. Neil Postman, The Disappearance Childhood-

Sumber: Yayasan Kita & Buah Hati

Baca selengkapnya....

Blogger Templates by Blog Forum