Berbalut baju ketat berbahan kaos, dan celana panjang yang semuanya melekat ke kulit menyelimut seluruh badan. Semuanya berwarna merah jambu. Badannya dibungkus lagi dengan rompi berwarna biru gelap serta rok mengembang setengah paha, semuanya berbahan jeans. Dikepala, terikat slayer segitiga berwarna krem membuat rambut panjang sebahu lebih itu terarah lurus ke belakang. Sepatunya hak tinggi berwarna putih. Usianya saya terka sekira antara lima hingga tujuh tahun. Lincah nian ia menyanyi di atas panggung itu.
Masih ada 4 orang anak lagi yang menyanyi di panggung khusus pertunjukan di Istana anak, Taman Mini Indonesia Indah. Tempat ini pula yang menjadi pusat perayaan Hari Anak Nasional yang berlangsung pada 23 Juli lalu. Kebetulan saya bersama anak dan istri sedang menikmati miniatur kawasan Nusantara yang diberi nama Taman Mini Indonesia Indah. Anak dan istri menikmati fasilitas bermain di Istana Anak, besama tetangga sekaligus kawan yang juga pasangan muda Didin-Siti yang membawa serta anak mereka Aqila, yang baru setahun usianya. Menunggu mereka manaiki kereta mini, saya membaca-baca sambil termangu-mangu melihat anak-anak dengan suara merdu menyanyikan lagu-lagu yang mereka hafal lengkap dengan performance di atas panggung begitu sempurna.
Anak-anak itu, penyanyi cilik yang mungkin sekali jebolan Idola Cilik yang ditayangkan di sebuah statisiun TV nasional, satu persatu menyanyi. Kalau tidak salah, di hari Ahad lalu masing-masing mereka membawakan 3 lagu. Terus terang, suara mereka bagus, penampilan mereka betul-betul bak penyanyi profesional. Saya berpiikir, entah berapa biaya yang orang tua mereka keluarkan untuk mencetak anak-anak itu menjadi penyanyi. Saya mengaguminya sekaligus termangu pada apa yang saya lihat. Mereka ini, semuanya menyanyikan lagu-lagu dewasa. Kata kuncinya antara lain cinta, rindu, mesra, dan sejumlah kata-kata sejenisnya.
Saya ketinggalan dalam mengamati lagu-lagu anak muda saat ini. Satu dua nama penyanyi dan judul lagu saya pernah dengar. Tapi kalau dicocokkan antara penyanyi dan lagunya, mungkin delapan puluh persen pastilah akan saya sebutkan dengan tidak cocok. Pertama, karena saya tidak memiliki TV di rumah, jadi kurang informasi yang sifatnya audio visual. Di rumah ada koran dan di kantor saya mendapat pasokan berita melalui teknologi RSS feed beberapa situs berita lewat Thunderbird di komputer. Kedua, saya tidak begitu suka mengamati kehidupan para artis yang menjadi idola masyarakat lewat jejalan-jejalan infotainment yang menjamur nyaris di setiap stasiun TV di tanah air. Praktis, untuk hal penyanyi, mungkin saya hanya menghafal dengan baik beberapa lagu generasi Kla Project atau Iwan Fals.
Tapi anak-anak yang menyanyi di panggung di Taman Mini itu, saya perhatikan, begitu hafal lagu yang lagi tren saat ini. Salah satu yang saya ingat, Mahluk Tuhan yang Paling Seksi yang dinyanyikan oleh Mulan Jameela. Juga beberapa--kalau saya tidak salah menghafal--lagu kelompok musik Ungu.
Kelihaian dan kepiawaian menyanyikan lagu-lagu itu membuat saya tertarik untuk mengamati. Di kiri kanan, di belakang dan depan saya, bahkan beberapa balita yang mengitari panggung dengan ditemani ayah dan ibu mereka, begitu fasihnya mengiringi sang penyanyi. Mereka melantunkan lagu yang sama. Gaya bernyanyi yang sama dengan penyanyi yang sama, entah Mulan Jameela ataupun Ungu. Inikah potret dunia anak saat ini? Itukah lagu-lagu yang menggambarkan kehidupan mereka?
Saya tidak tahu apakah masih ada anak-anak yang asyik bermain kelereng sepulang sekolah bersama teman-teman mereka. Saya juga tidak melihat apakah putri-putri kecil itu mampu bermain lompat tali sambil bernyanyi tentang matahari pagi. Kenapakah tak ada lagu tentang si anak gembala, naik-naik ke puncak gunung, pelangi-pelangi? Apakah anak-anak sudah tidak bisa lagi menikmati dunia seperti itu saat ini?
Sepuluh tahun lalu, saya memperhatikan tayangan sinetron di rumah paman di Bekasi. Saat itu, saya merasa bahwa akan segera dimulai babak baru sinetron kita: Eksploitasi dunia anak-anak sekolah. Isinya mengenai cinta monyet mereka, kehidupan gelamor yang orang tua mereka sediakan, serta remeh temeh relasi kuasa sosial-ekonomi diantara anak-anak seusianya. Saat itu memang masih gambaran cerita anak-anak SMA. Saya memperkirakan, tentulah tema ini akan merembet ke dunia anak SMP setelah sebelumnya berhasil dengan pencitraan dunia kampus. Ternyata analisa saya malah kurang lengkap. Justru saat ini sinetron itu telah memperkosa logika berpikir anak-anak SD. Ah... rupanya dunia anak saat ini sudah terbentuk oleh tayangan-tayangan TV.
Di kota-kota besar macam Jakarta, orang tua sibuk bekerja. Berangkat pagi dan pulang nyaris di tengah malam. Seorang anak bimbingan istri saya menjalani hidup seperti ini. Pagi hari, saat ia masih lelap diselimuti embun pagi, dan matahari belum lagi meninggi, Papa dan Mamanya telah berangkat bekerja. Di saat ia tengah lelap ditemani sang rembulan yang terang, Papa dan Mamanya baru pulang. Semua kebutuhan telah lengkap tersedia. Di kamarnya tersedia TV kabel. Kaset-kaset yang ia miliki juga lengkap lagu-lagu yang lagi tren saat ini. Tentu saja, lagunya bertemakan cinta sepasang manusia, bukan cinta dari Papa-Mama terhadap anak-anaknya.
Dalam keributan RUU Pornografi yang berlangsung sejak 2006 lalu, bagi saya tetap ada kebutuhan untuk mengatur segala kepornoan yang berlangsung di Indonesia. Di negeri sekuler macam Amerika hal semacam itu diatur dengan tegas. Seorang perempuan asal Indonesia memasuki sebuah toko. Di salah satu sudut toko itu ada tempat khusus menjual Sex Toys dan majalah-majalah porno. Sekian lama ia bersama suami dan anak-anak tinggal di negeri sekuler ini, baru kali ini ia mencoba memasuki wilayah khusus dewasa itu. Setelah meminta izin suaminya, menggendong bayinya, ia mencoba memasuki ruang itu. Si penjaga ruangan langsung mencegahnya masuk. "Anda boleh masuk jika anak itu telah berusia 18 tahun," kata si penjaga. Begitulah, ranah porno yang untuk orang dewasa dengan tegas dibedakan dengan ranah khusus untuk anak-anak.
Berbeda dengan di Indonesia. Majalah-majalah dalam kategori untuk orang dewasa, serta tabloid dan koran yang menjual hasrat selangkangan dengan mudah didapat di pinggir-pinggir jalan sampai toko-toko buku. Jika suasana porno itu dirasakan oleh semua usia, entah bagaimana pula cara membedakan antara dewasa dan anak-anak selain fisiknya. Birahi anak dan orang dewasa tak jelas batasnya.
Anak-anak yang saya lihat di panggung pertunjukan di Taman Mini hari Ahad yang lalu, adakah mereka tahu bahwa kehidupan mereka telah diperkosa tren gaya hidup yang disajikan televisi, yang dirancang sang penguasa modal untuk selalu menghadirkan segala hal "terkini", dan membuat mereka selalu merasa bangga dielu-elukan banyak temannya? Berlomba seperti banyaknya ilmuan di tanah air yang tetap ingin terlihat pintar dan intelek namun harus juga terkenal seperti artis yang banyak muncul di TV atau lembar opini berita hari ini?
Maafkan, saya lupa saya sudah bukan lagi anak-anak. Mungkin saja saya salah tidak merancang anak saya seperti anak-anak yang begitu ceria bernyanyi tentang kisah cinta sepasang anak manusia. Sudahlah, saya salah. Mohon pencerahannya Bapak, Ibu, Om, Tante...
Baca selengkapnya....
Label:
Dunia anak,
kehidupan