Herman

Free



Beberapa hari terakhir ini saya sedang rajin mengunduh video dari Youtube dengan menggunakan Orbit. Saya mencari video klip untuk beberapa lagu kesukaan saya. Pagi ini saya berhasil mengunduh video klip lagu Free dari Lighthouse Family. Selama ini saya hanya mendengarkan lagu itu. Tetapi kali ini, setelah melihat video klipnya, rasanya di hati begitu terenyuh, mirisss...

Lagu ini mengingatkan saya pada lagu lama awal tahun 1990-an yang dinyanyikan oleh Michael Jackson, Heal the World. Keduanya sama-sama menyerukan perdamaian di dunia. Pada akhir video klip lagu Free terdapat satu kalimat yang masih lekat dalam ingatan ini: STOP KILLING AND START HELPING. Semoga saja kebebasan untuk menjalani kehidupan yang damai itu bisa dirasakan oleh semua orang di seluruh penjuru dunia.

Baca selengkapnya....
Herman

Last Name

Ketika mendaftar untuk membuat akun beberapa imel dan layanan online lainnya, saya selalu direpotkan oleh kewajiban menuliskan last name pada formulir pendaftaran. Nama saya hanya satu kata: Saherman. Pembuat formulir berasumsi bahwa nama seseorang selalu terdiri dari dua kata, dimana kata kedua biasanya adalah nama keluarga. Tidak ada nama keluarga setelah nama saya. Akibatnya, saya seringkali harus menuliskan kata lain supaya nama saya terdiri dari dua kata. Kata "lain" itu bisa dari nama panggilan, Herman, yang saya tuliskan sebagai first name. Akibatnya, nama lengkap saya menjadi Herman Saherman.

Kebiasaan untuk memanggil seseorang dengan nama belakang rupanya bukan hanya milik orang Batak yang biasanya adalah nama marga, tetapi juga menjadi kebiasaan bangsa-bangsa yang bahasa ibunya adalah bahasa Inggris. Dengan menggunakan nama panggilan sebagai nama depan dan nama lengkap yang asli satu kata itu menjadi nama belakang, akhirnya nama panggilan saya di layar komputer yang sedang online adalah nama asli.

Kadang ketika mengisi satu formulir online, saya mengisi nama depan dengan nama asli, dan menuliskan nama belakang dengan kata Bengkulu, Jakarta, atau apalah. Akibatnya nama panggilan saya yang muncul di layar adalah nama-nama daerah itu. Saya suka geli membacanya. Bayangkan, setelah memasukkan username dan password untuk login, lalu muncul tulisan "Welcome Bengkulu" atau "Welcome Jakata".

Sebagai pemeluk Islam yang baik, orang tua saya memberikan nama pada anak-anaknya sesuai dengan tuntunan agama ini. "Nama adalah juga doa", demikian tuntunan dalam memberikan nama pada anak. Begitu pun nama saya, Saherman, yang menurut keterangan orang tua saya yang semasa sekolahnya dulu pernah belajar Islam dan bahasa Arab, nama saya mengandung arti "benar-benar manusia". Maksudnya adalah supaya kelak saya menjadi orang yang benar-benar manusia sesuai dengan tujuan penciptaan Sang Khalik: Supaya bertakwa kepada-Nya.

Demikian pula cara memberikan nama untuk anak kami, Zahid. Kata Zahid berarti orang yang Zuhud, dan Zuhud itu adalah "sikap hidup yang tidak rakus atau terlalu cinta pada kehidupan dunia". Orang yang zuhud berarti adalah orang yang menjalani kehidupan dengan seimbang dalam pencapaian kebahagiaan di dunia dan di akhirat (kehidupan abadi setelah kehidupan di dunia ini).

Tidak hanya nama dengan satu kata yang membuat repot pemiliknya. Nama yang lebih dari dua kata pun turut kewalahan ketika mengisi formulir tertentu. Bisa dibayangkan bagaimana mengisi nama-nama yang kadang disertai gelar kebangsawanan sekaligus. Bayangkan seseorang ketika hendak menuliskan namanya secara lengkap, "Raden Mas Arya Panangsang Suryo Prayogo" (maaf kalau contoh ini memiliki kesamaan dengan nama Anda atau kerabat Anda). Contoh lainnya adalah nama anak saya sendiri yang terdiri dari empat kata. Maunya supaya kata-kata pada nama merupakan doa yang semoga dikabulkan oleh-Nya, ternyata malah bikin repot.

Hal lain menyangkut penulisan. Nama saya memiliki kemiripan dengan nama-nama yang kebanyakan dimiliki orang lain. Akibatnya nama saya pun sering kali salah dituliskan oleh orang lain. Di KTP, STNK, amplop surat, data di sebuah lembaga atau organisasi, adalah beberapa tempat penulisan nama saya yang keliru. Nama saya Saherman, namun sering ditulis Suherman. Sependek pengetahuan saya (halah... ini meniru cara bicara Patra Zein, direktur YLBHI, kalau di forum diskusi), di Indonesia nama orang lain yang sama persis dengan nama saya terdapat di database pasien Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta. Ini saya ketahui ketika berobat untuk kedua kalinya di rumah sakit itu sekitar empat tahun lalu. Ketika mengecek di google, ternyata nama saya keluar begitu banyaknya. Banyaknya nama saya yang muncul dari hasil pencarian google itu bukanlah karena saya orang terkenal di seantero dunia maya, tetapi karena nama itu juga dimiliki oleh orang lain di daratan benua Eropa sana.

Kembali ke topik awal. Kesulitan mengisi formulir yang mewajibkan menulis last name bagi pemilik nama dengan satu kata atau lebih dari dua kata harusnya difasilitasi oleh pemilik atau penyedia formulir. Ada baiknya membuat formulir seperti yang kebanyakan terdapat di tanah air, yang menyediakan dua isian untuk nama, yakni nama lengkap dan nama panggilan. Dengan demikian, orang seperti saya yang memiliki nama yang hanya satu kata tidak akan menglami kerepotan semacam ini.

Baca selengkapnya....
Naning

Home Schooling

Weekend boo...lagi menunggu suami dan anak tercinta beli bakso, iseng-iseng nyiapin tumis kangkung. Karena tidak ada TV di rumah, seperti biasa sambil beraktifitas cari-cari channel yg enak di denger. Eh.. tidak sengaja ada diskusi menarik di Smart FM tentang Home Schooling. Wah kayaknya sih dah ketinggalan lama karena pas kulirik jam di dinding sudah menunjukkan pukul 11.35. "Aah tak apalah, lebih baik terlambat kan daripada tidak sama sekali" pikirku.

Ayah Edy, narasumber diskusi home schooling di smart FM ini, akan menyelenggarakan sebuah seminar bertajuk "merancang sukses anak sejak dini" di Hotel Sultan Jakarta, Sabtu 1 Januari 2008. Seminar ini memerlukan tiket senilai Rp 400.000 setiap peserta. Uang segitu dah termasuk makan sian.

Menurut Ayah Edy, mayoritas orang tua kurang PD dengan home schooling. Alasannya adalah karena khawatir anaknya tidak bisa bersosialisasi dengan orang lain. Ayah Edy mencontohkan misalnya seorang anak sekolah di SD yg jumlah siswanya 400-500 orang, toh mustahil juga dia akan bersosialisasi dengan anak-anak lain sejumlah itu. Pasti dia hanya akan berinteraksi dengan 1 atau 2 kelas aja. Sebenarnya itu tidak perlu dikhawatirkan, karena komunitas home schooling kan juga tidak sedikit, insya Allah tidak akan kesusahan dengan sosialisi. Jadi ya... masih bisa jadi salah satu alternatif lah.

Yang paling menarik adalah cerita Ayah Edy mengenai keberhasilan seorang ayah dari lima anak di yogyakarta. Beliau adalah seorang dosen pascasarjana UGM (entah aku lupa di bidang apa) yang membimbing kelima putranya di rumah. Beliau sendiri yg menjadi "dosen". Ternyata putranya berhasil membuat alat pendeteksi jantung (jelasnya apa gitu) yang sangat canggih. tapi sangat disayangkan, alat tersebut ternyata dipatenkan di Jerman, bukan di negara kita tercinta (pemerintah emang tidak pernah menghargai hasil karya anak bangsa kan?...)

Tapi...memang terserah dan kembali kepada diri kita ya, mau home schooling atau tidak. Kalau kita merasa masih cukup tenaga untuk mendidik putra-putri kita sendiri, kayaknya emang sangat baik. Kalau tidak bisa ya harus disekolahkan di sekolah yg tepat. Yang pasti kita sudah tahu ada alternatif lain menghadapi mahalnya biaya pendidikan sekarang ini.

Sabtu,12 Januari 2008

Baca selengkapnya....

Blogger Templates by Blog Forum