Herman

Selamat Berpuasa Ramadhan

Saudara-saudara semua,

Kami ingin mengucapkan selamat menunaikan ibadah puasa Ramadhan untuk Anda yang menjalaninya. Semoga puasa kali ini menjadi masa penggemblengan diri bagi kita untuk bisa menjadi manusia yang selalu lebih baik dari hari-hari sebelumnya. Semoga Ramadhan kali ini benar-benar membuat kita menjadi lebih manusiawi, yang menyadari hakikat diri sebagai manusia ciptaan-Nya di dunia. Semoga Allah memudahkan dan menerima segala amal ibadah kita selama bulan Ramadhan kali ini. Amin.

Saya meminta maaf lahir dan batin untuk semua kesalahan yang pernah saya lakukan pada diri Anda yang sangat mungkin menorehkan luka.

Baca selengkapnya....
Herman

Dunia anak kini

Berbalut baju ketat berbahan kaos, dan celana panjang yang semuanya melekat ke kulit menyelimut seluruh badan. Semuanya berwarna merah jambu. Badannya dibungkus lagi dengan rompi berwarna biru gelap serta rok mengembang setengah paha, semuanya berbahan jeans. Dikepala, terikat slayer segitiga berwarna krem membuat rambut panjang sebahu lebih itu terarah lurus ke belakang. Sepatunya hak tinggi berwarna putih. Usianya saya terka sekira antara lima hingga tujuh tahun. Lincah nian ia menyanyi di atas panggung itu.

Masih ada 4 orang anak lagi yang menyanyi di panggung khusus pertunjukan di Istana anak, Taman Mini Indonesia Indah. Tempat ini pula yang menjadi pusat perayaan Hari Anak Nasional yang berlangsung pada 23 Juli lalu. Kebetulan saya bersama anak dan istri sedang menikmati miniatur kawasan Nusantara yang diberi nama Taman Mini Indonesia Indah. Anak dan istri menikmati fasilitas bermain di Istana Anak, besama tetangga sekaligus kawan yang juga pasangan muda Didin-Siti yang membawa serta anak mereka Aqila, yang baru setahun usianya. Menunggu mereka manaiki kereta mini, saya membaca-baca sambil termangu-mangu melihat anak-anak dengan suara merdu menyanyikan lagu-lagu yang mereka hafal lengkap dengan performance di atas panggung begitu sempurna.

Anak-anak itu, penyanyi cilik yang mungkin sekali jebolan Idola Cilik yang ditayangkan di sebuah statisiun TV nasional, satu persatu menyanyi. Kalau tidak salah, di hari Ahad lalu masing-masing mereka membawakan 3 lagu. Terus terang, suara mereka bagus, penampilan mereka betul-betul bak penyanyi profesional. Saya berpiikir, entah berapa biaya yang orang tua mereka keluarkan untuk mencetak anak-anak itu menjadi penyanyi. Saya mengaguminya sekaligus termangu pada apa yang saya lihat. Mereka ini, semuanya menyanyikan lagu-lagu dewasa. Kata kuncinya antara lain cinta, rindu, mesra, dan sejumlah kata-kata sejenisnya.

Saya ketinggalan dalam mengamati lagu-lagu anak muda saat ini. Satu dua nama penyanyi dan judul lagu saya pernah dengar. Tapi kalau dicocokkan antara penyanyi dan lagunya, mungkin delapan puluh persen pastilah akan saya sebutkan dengan tidak cocok. Pertama, karena saya tidak memiliki TV di rumah, jadi kurang informasi yang sifatnya audio visual. Di rumah ada koran dan di kantor saya mendapat pasokan berita melalui teknologi RSS feed beberapa situs berita lewat Thunderbird di komputer. Kedua, saya tidak begitu suka mengamati kehidupan para artis yang menjadi idola masyarakat lewat jejalan-jejalan infotainment yang menjamur nyaris di setiap stasiun TV di tanah air. Praktis, untuk hal penyanyi, mungkin saya hanya menghafal dengan baik beberapa lagu generasi Kla Project atau Iwan Fals.

Tapi anak-anak yang menyanyi di panggung di Taman Mini itu, saya perhatikan, begitu hafal lagu yang lagi tren saat ini. Salah satu yang saya ingat, Mahluk Tuhan yang Paling Seksi yang dinyanyikan oleh Mulan Jameela. Juga beberapa--kalau saya tidak salah menghafal--lagu kelompok musik Ungu.

Kelihaian dan kepiawaian menyanyikan lagu-lagu itu membuat saya tertarik untuk mengamati. Di kiri kanan, di belakang dan depan saya, bahkan beberapa balita yang mengitari panggung dengan ditemani ayah dan ibu mereka, begitu fasihnya mengiringi sang penyanyi. Mereka melantunkan lagu yang sama. Gaya bernyanyi yang sama dengan penyanyi yang sama, entah Mulan Jameela ataupun Ungu. Inikah potret dunia anak saat ini? Itukah lagu-lagu yang menggambarkan kehidupan mereka?

Saya tidak tahu apakah masih ada anak-anak yang asyik bermain kelereng sepulang sekolah bersama teman-teman mereka. Saya juga tidak melihat apakah putri-putri kecil itu mampu bermain lompat tali sambil bernyanyi tentang matahari pagi. Kenapakah tak ada lagu tentang si anak gembala, naik-naik ke puncak gunung, pelangi-pelangi? Apakah anak-anak sudah tidak bisa lagi menikmati dunia seperti itu saat ini?

Sepuluh tahun lalu, saya memperhatikan tayangan sinetron di rumah paman di Bekasi. Saat itu, saya merasa bahwa akan segera dimulai babak baru sinetron kita: Eksploitasi dunia anak-anak sekolah. Isinya mengenai cinta monyet mereka, kehidupan gelamor yang orang tua mereka sediakan, serta remeh temeh relasi kuasa sosial-ekonomi diantara anak-anak seusianya. Saat itu memang masih gambaran cerita anak-anak SMA. Saya memperkirakan, tentulah tema ini akan merembet ke dunia anak SMP setelah sebelumnya berhasil dengan pencitraan dunia kampus. Ternyata analisa saya malah kurang lengkap. Justru saat ini sinetron itu telah memperkosa logika berpikir anak-anak SD. Ah... rupanya dunia anak saat ini sudah terbentuk oleh tayangan-tayangan TV.

Di kota-kota besar macam Jakarta, orang tua sibuk bekerja. Berangkat pagi dan pulang nyaris di tengah malam. Seorang anak bimbingan istri saya menjalani hidup seperti ini. Pagi hari, saat ia masih lelap diselimuti embun pagi, dan matahari belum lagi meninggi, Papa dan Mamanya telah berangkat bekerja. Di saat ia tengah lelap ditemani sang rembulan yang terang, Papa dan Mamanya baru pulang. Semua kebutuhan telah lengkap tersedia. Di kamarnya tersedia TV kabel. Kaset-kaset yang ia miliki juga lengkap lagu-lagu yang lagi tren saat ini. Tentu saja, lagunya bertemakan cinta sepasang manusia, bukan cinta dari Papa-Mama terhadap anak-anaknya.

Dalam keributan RUU Pornografi yang berlangsung sejak 2006 lalu, bagi saya tetap ada kebutuhan untuk mengatur segala kepornoan yang berlangsung di Indonesia. Di negeri sekuler macam Amerika hal semacam itu diatur dengan tegas. Seorang perempuan asal Indonesia memasuki sebuah toko. Di salah satu sudut toko itu ada tempat khusus menjual Sex Toys dan majalah-majalah porno. Sekian lama ia bersama suami dan anak-anak tinggal di negeri sekuler ini, baru kali ini ia mencoba memasuki wilayah khusus dewasa itu. Setelah meminta izin suaminya, menggendong bayinya, ia mencoba memasuki ruang itu. Si penjaga ruangan langsung mencegahnya masuk. "Anda boleh masuk jika anak itu telah berusia 18 tahun," kata si penjaga. Begitulah, ranah porno yang untuk orang dewasa dengan tegas dibedakan dengan ranah khusus untuk anak-anak.

Berbeda dengan di Indonesia. Majalah-majalah dalam kategori untuk orang dewasa, serta tabloid dan koran yang menjual hasrat selangkangan dengan mudah didapat di pinggir-pinggir jalan sampai toko-toko buku. Jika suasana porno itu dirasakan oleh semua usia, entah bagaimana pula cara membedakan antara dewasa dan anak-anak selain fisiknya. Birahi anak dan orang dewasa tak jelas batasnya.

Anak-anak yang saya lihat di panggung pertunjukan di Taman Mini hari Ahad yang lalu, adakah mereka tahu bahwa kehidupan mereka telah diperkosa tren gaya hidup yang disajikan televisi, yang dirancang sang penguasa modal untuk selalu menghadirkan segala hal "terkini", dan membuat mereka selalu merasa bangga dielu-elukan banyak temannya? Berlomba seperti banyaknya ilmuan di tanah air yang tetap ingin terlihat pintar dan intelek namun harus juga terkenal seperti artis yang banyak muncul di TV atau lembar opini berita hari ini?

Maafkan, saya lupa saya sudah bukan lagi anak-anak. Mungkin saja saya salah tidak merancang anak saya seperti anak-anak yang begitu ceria bernyanyi tentang kisah cinta sepasang anak manusia. Sudahlah, saya salah. Mohon pencerahannya Bapak, Ibu, Om, Tante...

Baca selengkapnya....
Herman

HAN dan komputer saya

Saya kaget dan senyum-senyum sendiri ketika membolak-balik Koran Tempo hari ini. Memperingati Hari Anak Nasional yang jatuh pada hari ini, Rabu, 23 Juli 2008, koran ibukota ini menyediakan suplemen khusus tentang anak. Bagian depan suplemen bergambar seorang anak yang sedang bermain layang-layang di tengah padang rumput dengan latar depan bunga dan kupu-kupu yang kesemuanya begitu indah menurut saya.













Gambar itu sama persis dengan wallpaper di komputer saya. Satu kebetulan memang. Gambar ini bisa diunduh di stock.xchng yang menyediakan foto-foto dan gambar dengan resolusi tinggi. Anda bisa mendapatkan dengan gratis untuk foto-foto tertentu seperti wallpaper komputer meja saya itu, dan ada pula yang berbayar alias harus beli karena merupakan karya "ahli foto" alias fotografer yang mau jualan lewat website tersebut. Anda harus mendaftar terlebih dahulu untuk bisa menikmati keindahan foto-foto di sana.

Selanjutnya, saya ingin mengucapkan Selamat Hari Anak untuk Anda semua. Semoga kita bisa lebih menghargai anak-anak kita, mendampingi mereka dalam masa tumbuh kembang yang kelak akan menentukan masa depan bangsa ini.

Baca selengkapnya....
Herman

Hamil bareng

Bagaimana pendapat Anda, jika dalam satu sekolahan siswi-siswinya bersepakat untuk hamil bareng-bareng? Bagaimana pula tanggapan Anda kalau satu dari sekian mereka itu adalah anak Anda sendiri?

Di negara bagian Massachusetts, AS, ada sejumlah siswi yang berusia kurang dari 16 tahun hamil bersama-sama. Yang tidak jadi hamil malah gelisah sebab tidak bisa hamil bareng teman-temannya. Ah... beberapa teman saya yang sudah menginjak usia 30 tahun dan sudah menjalani masa perkawinan enam tahun masih gelisah belum mendapat kesempatan hamil. Di jalan Dewi Sartika, Cawang, Jakarta Timur ada seorang terapis tradisional yang bisa membuat sejumlah teman-teman saya di kantor hamil hanya berselang beberapa bulan. Nah, kalau teman-teman saya ini memang tidak bisa hamil bareng, sebab mereka datang ke terapis satu-satu setelah mengetahui teman lainnya sudah terbukti bisa hamil. Kantor saya malah kelabakan karena satu-satu stafnya cuti melahirkan. Hingga saat ini masih ada 3 orang yang cuti melahirkan, setelah sebelumnya juga ada 3 orang yang menyudahi cuti yang sama.

Anak-anak sekolahan di Massachusetts itu mungkin sekali hamil karena tren anak-anak seusia mereka saat ini. Mungkin kerena dianggap "keren" bisa hamil, mereka bersepakat untuk berada dalam kondisi hamil dalam rentang waktu bersamaan. Seperti film American Pie, dimana anak-anak tingkat akhir SLTA, pada malam kelulusan sekolah yang dirayakan, berjuang supaya pada saat itu sudah tidak ada lagi diantara mereka yang belum merasakan s*nggam*. Saking inginnya bisa merasakah hubungan badan, salah seorang anak akhirnya melakukan "itu" dengan ibu temannya sendiri.

Bagaimana pendapat Anda tentang ini semua?

Baca selengkapnya....
Hening

Tidak jadi pulang kampung

"Ayah, kenapa Zahid ga jadi pulang kampung....?"
"Zahid jadi sedih, Zahid kan sudah siap pulang kampung."

Miris juga melihat raut sedih anak kami yang merasa kecewa tidak jadi mudik ke ke rumah mbahnya. Sedari siang ia tidur pulas, kata ibunya. Ibunya juga kecewa karena harus menjelaskan ke anak kami bahwa kereta semuanya penuh terisi. Tidak ada kursi tersisa.

Saya sudah minta izin keluar dari kantor pukul 15.00 kemarin. Tujuannya untuk membeli tiket di stasiun Jatinegara. Setelah tiba di stasiun, saya perhatikan loket khusus penjualan di hari keberangkatan untuk kelas bisnis dan eksekutif masih tertutup. Seorang ibu yang berdiri di depannya mengatakan kalau loket akan di buka pada pukul 17.00. Ia pun sedang menunggu loket itu terbuka, ia akan berangkat ke tujuan yang sama, Stasiun Balapan Solo.

Libur sekolah selama 2 pekan menjadi begitu pendek untuk Ibunya Zahid. Sebagai seorang guru, ia hanya mendapat jatah libur selama sepekan. Agenda libura kali ini antara lain, bersilaturahhim dengan keluarga, reuni akbar alumni pesantren tempat dulu ia menimba ilmu yang akan berlansung pada 4 Juli nanti, serta menghadiri acara pernikahan teman di Tempel-Sleman-Yogyakarta.

Semula, rencana keberangkatan pada hari Ahad, 29 Juni. Namun saya teringat cerita teman di kantor kalau tiket kereta ke arah timur pulau Jawa untuk semua kelas telah tak bersisa. Saya pikir, kalau membeli tiket hari Senin tentunya masih ada. Mungkin hari Ahad adalah puncak keberangkatan mereka yang berlibur. Di tengah antrian menunggu loket dibuka, saya bercerita pada salah seorang pengantri di belakang saya, "di Yogya, ada beberapa layar monitor yang menampakkan jumlah kursi pada setiap gerbong yang masih tersedia atau tidak untuk penumpang". Orang itu mengatakan, "ada kok mas, di sebelah sana." Saya menuju pojok stasiun yang ia tunjukkan. Benar saja, hingga tanggal 5 Juli semua bangku telah terisi. Kebiasaan petugas stasiun terus menjual tiket meski bangku telah penuh sudah berlangsung sejak saya belum menginjakkan kaki di kendaraan penumpang massal ini.

Apa boleh buat, saya hubungi istri untuk mempertimbangkan lagi rencana mudik kali ini. Nyatanya istri pun memutuskan tidak jadi berangkat, meski dengan hati berat. Kalau pun berangkat pada tanggal 6 Juli, jelas tidak mungkin, sebab tanggal 7 Juli sudah harus masuk sekolah lagi. Guru-guru sekolah di tempatnya bekerja sudah memulai aktivitas berupa Rapat Kerja. Semuanya, tidak boleh tidak, harus hadir.

Lebaran yang tidak seberapa lama lagi benar-benar harus disiasati. Pesanlah tiket jauh-jauh hari kalau ingin mudik kembali.

Baca selengkapnya....
Naning

Berlibur ke Ancol

Dalam rangka Hari Pendidikan Nasional, Taman Impian Jaya Ancol menggratiskan para tenaga pendidik (guru dan dosen) di Jakarta dan sekitarnya yang mau berlibur di Ancol selama dua pekan. Untuk anggota keluarga, biaya masuk dipotong sebesar 20 persen.


Pada hari terakhir libur gratis itu, 17 Mei 2008, kami menikmati liburan di Ancol. Di sana, ada bejibun guru-guru meramaikan tempat hiburan ini, baik yang datang rombongan sesama guru satu sekolahan, maupun yang datang bersama keluarga. Liburan gratis bagi para guru cukup menghibur tenaga pendidik yang ada. Sebuah penghargaan dalam bentuk yang lain?

Baca selengkapnya....
Herman

KTP dan Kemiskinan

Saya mengikuti diskusi menarik pada 24 April lalu. Wardah Hafidz dari Urban Poor Consortium menjadi narasumber. Topiknya sendiri cukup menarik, "Pemiskinan Perempuan dan HAM". Berikut ini beberapa realitas kemiskinan yang sempat saya catat setelah diskusi tersebut.

Identitas Kartu Tanda Penduduk (KTP) turut berperan dalam proses membuat orang miskin bertambah miskin. KTP di Indonesia tidak berlaku secara nasional. Artinya, KTP hanya menyatakan keterangan status penduduk setempat seperti tertera pada kartu itu. Di Jakarta, gubernurnya akan mengatakan "saya hanya mengurusi penduduk jakarta". Artinya ia hanya mengurusi orang-orang yang memiliki KTP DKI Jakarta. KTP menjadi persoalan besar bagi masyarakat miskin di ibukota. Kalau ada Bantuan Operasional Sekolah (BOS), kartu Keluarga Miskin (Gakin), dan segalam macam program pengentasan kemiskinan, semua hanya ditujukan kepada masyarakat dengan KTP setempat.

Dari studi yang dilakukan oleh UPC, Ada 53 program pengentasan kemiskinan pada 2007. Dengan program baru setelah selesai tahun 2007 lalu, maka tidak kurang dari 60 program pengentasan kemiskinan dibuat oleh pemerintah pada 2008 ini, serta program-program itu tersebar di semua departemen pemerintah. Kalau dipikir-pikir, sebenarnya menjadi orang miskin di Indonesia sudah sangat nyaman dan hebat, sebab semua sudah diurus oleh Pemerintah. Namun semua itu terganjal oleh Politik KTP. Orang misin tidak bisa berobat secara gratis di rumah sakit karena KTP yang menyatakan bukan penduduk Jakarta. Apalagi yang tinggal di kolong-kolong jembatan, kolong tol, atau pemukiman kumuh di sepanjang rel kereta, kebanyakan dari mereka tidak memiliki KTP DKI Jakarta.

Orang-orang yang tinggal di kolong tol, sebagai satu contoh, secara defakto adalah orang-orang paling miskin di DKI Jakarta. Namun mereka tidak bisa mendapatkan akses pada program pengentasan kemiskinan karena terbentur persoalan KTP. Mereka hanya memeliki KTP daerah asal, seperti katakanlah Kabupaten Brebes-Jawa Tengah.

Pada akhirnya, beban kemiskinan ini akan menimpa perempuan, seperti mengurus akte kelahiran dan mengurus sekolah anak-anak mereka. Dari pengalaman pendampingan, kalau orang tua tidak punya KTP, maka tidak ada akte kelahiran, dan akhirnya anak mereka tidak bisa sekolah. Ketika si bapak harus bekerja, maka ibunyalah yang akan mengurusi keribetan birokrasi yang ada mengurusi surat-surat keterangan yang dibutuhkan untuk kepentingan anak-anak mereka. Sementara, dalam mengurus surat-surat itu justru suara laki-laki lebih didengarkan.

Cerita Wardah di atas betul-betul realitas yang mengenaskan, sebuah negara dengan pemerintah yang abai terhadap warganya. Berkaitan dengan program pengentasan kemiskinan, seorang teman yang seorang sopir pribadi punya cerita lain. Untuk mendapatkan fasilitas berobat gratis atau kartu/surat Keterangan sebagai Keluarga Miskin sungguh-sungguh bisa dibeli. Nyatanya, temannya teman saya itu bisa mendapatkan dengan cara membayar pada ketua Rukun Rukun Tetangga (RT), Ketua Rukun Warga (RW), atau bisa langsung pada Kepala Desa (Kades). Nah, untuk mendapatkan surat keterangan itu, maka ia harus mengeluarkan biaya sekitar 200 ribu rupiah. Uang sebesar itu tentunya jauh lebih murah daripada jumlah uang yang harus dibayarkan ke rumah sakit-rumah sakit pemerintah yang sekarang nyaris udah diswastakan semua itu. Tetapi bagi mereka yang berada di kolong jalan layang, uang sejumlah itu amat sulit didapat, apalagi jika membutuhkan secara cepat karena anak mereka sedang dalam "kondisi gawat".

Pengalaman lain saya hadapi. Sekitar sebulan lalu, di RT tempat tinggal kami dilakukan pembagian formulir untuk mendapatkan paket kompor dan tabung gas. Hanya mengisi formulir dan melampirkan fotokopi KTP. Dan Kartu Keluarga beserta KTP kami memang sudah menerangkan kalau kami adalah penduduk di perumahan itu. Saya terheran-heran mendapati formulir yang disodorkan oleh aparat RT itu. Saya katakan pada istri bahwa kami tidak berhak atas itu. Keluarga kami memang hanya pas-pasan, rumah masih ngontrak, dan tidak ada televisi di rumah kami.

Lingkungan tempat tinggal kami adalah perumahan para "abdi negara". Rumah-rumah di sini hanya tinggal beberapa tahun lagi akan lunas pencicilannya. Serta nyaris tidak ada pengangguran murni di sini. Penduduk di lingkungan kami tidak termasuk miskin meski tidak juga kaya semua.

Namun setelah beberapa jam kemudian, tetangga sebelah menyarankan untuk mengambil saja paket subsidi itu. "Nanti dinilai sombong oleh lingkungan". Kami tahu, hal-hal sepele seperti ini sering menjadi pergunjingan, entah di kalangan ibu-ibu ataupun bapak-bapak di sini. Akhirnya, kami isi formulir itu dan kami serahkan kepada sekretaris RT. Niatnya, setelah paket itu kami terima, akan kami salurkan pada orang di desa yang lebih berhak menerimanya.

Saya berpikir, sekian banyak program pengentasan kemiskinan, tak sedikit yang tidak tepat sasaran karena memang pemerintah dari level Atas sampai bawah tidak terlalu serius menangani data. Juga tidak jelas menetapkan indikator kemiskinan. Di lain pihak, mereka yang sesungguhnya tidak lagi berhak menerima subsidi, masih saja berharap dan berusaha mendapatkannya. Aneh, kenapa semakin banyak orang menjadi "tumpul rasa" di hatinya.

Baca selengkapnya....
Herman

Ponsel yang hilang itu...

Peristiwa ini terjadi sepekan yang lalu, Jumat malam, 11 April 2008. Saya pulang dari kantor setelah hujan reda. Naik Transjakarta dengan rute Halimun - Matraman - Kp Melayu - Kp Rambutan, dan turun di halte Cawang-UKI untuk meneruskan perjalanan menuju arah Cileungsi dengan berpindah ke minibus 56.


Naik Transjakarta (lebih diakrabi masyarakat dengan nama Busway) dari halte Halimun dengan penumpang cukup ramai. Maklum, akhir pekan. Sekitar pukul 20 waktu itu. Jadi penumpangnya cukup membludak. Suasana di dalam bis seperti biasa kalau sedang ramei, tangan diatas berpegang pada gantungan karena tidak kebagian tempat duduk. Sampai di Matraman, saya transit menuju Kampung Rambutan. Antrian cukup banyak. Transjakarta yang hendak saya naiki dinyatakan cukup menerima penumpang, harus menunggu kedatangan bis berikutnya.

Saya cukup tenang menunggu bis karena posisi saya tepat di bibir pintu halte yang dengan satu langkah sudah masuk ke dalam bis angkutan massal ini. Saya sama sekali tidak menduga kalau ternyata hendak masuk ke dalam bis, ada gelombang dorongan kuat sekali dari arah belakang. Bersama penumpang lain yang mengantri sejajar dan di belakang, saya terlempar dengan keras ke dalam. Sejumlah penumpang yang akan masuk dan juga yang di dalam bis berteriak "hoi sabar dong!!!". Dalam suasana yang begitu gemuruh dan kondisi di dalam begitu padat, saya mencoba meraih gantungan di atas kepala saya untuk menjaga keseimgangan tubuh. Saya berusaha mendekat ke pintu tengah di sisi kiri bis. Kondisi padat memaksa saya untuk mengangkat tangan ke atas, di gantungan itu. Tangan yang biasanya selalu siaga di kantong kanan menjaga ponsel akhirnya lalai juga pada tugasnya.

Saya merasakan keanehan pada paha sebelah kanan, tepatnya di kantong celana saya. Saya mencoba menggerakkannya, ternyata makin terasa tidak ada apapun di dalam kantong. Bis sudah berhenti di halte Tegalan, lalu menuju Halte selanjutnya. Saya berteriak, "yang mengambil hp saya, hayo kembalikan". Saya ulangi sekali lagi. Suara saya mengagetkan penumpang yang ada. Seorang yang berdiri persis di belakang saya menawarkan diri menghubungi nomor ponsel saya. Sebuah tas sandang hitam ada dipinggang sebelah kiri dengan tali melilit dibahu sebelah kanannya. Saya menyebutkan nomor saya. Tapi 4 digit angka di belakang selalu salah, ia ketik 8252 yang mestinya ...9252. Ia ulangi sampai empat kali, selagi tangan kanan memencet-mencet ponselnya, tangan kirinya terus saja merogoh tasnya. Seorang yang membawa tas yang sejenis, dengan perawakan yang menunjukkan usia yang lebih kurang sama, ikut berbicara, dan saya curiga keduanya sengaja mengalihkan perhatian semua penumpang. Saya mencurigai mereka sebagai pelaku pencurian ini.

Saya kesal, tetapi juga khawatir karena siapapun pelakunya, tentulah mereka mengenali wajah saya. Saya mendekati petugas keamanan bis yang berdiri di pintu tengah sebelah kanan. Saya katakan padanya, "lu periksa orang yang di belakang gue tadi". Lalu ia mengontak keamanan lainnya yang ada di halter terakhir "Kampung Melayu" dengan menggunakan alat komunikasi yang ada pada sopir. Bis menuju halte Pasar Jatinegara. Seorang yang berdiri di dekat pintu, di sebelah petugas keamanan bis, mengatakan kepada saya bahwa kemungkinan besar pencurinya telah keluar di halte sebelumnya. I menyebutkan perawakan pencuri menunjukkan mereka berasal dari Ambon. Lalu penumpang lain, seorang ibu, berbaik hati meminjamkan ponselnya supaya saya bisa menghubungi nomor ponsel saya yang hilang. Saya hubungi nomor ponsel saya. Ada sedikit nada sambung, tapi kemudian mati. Saya rasakan sekilas suara dari ponsel saya di sekitar tempat saya berdiri semula. Saya katakan pada petugas keamanan bahwa ponsel saya masih ada di bis ini. Pelakunya belum keluar.

Mengenai tuduhan seorang penumpang bahwa pelakunya dari salah satu suku bangsa di daerah timur Nusantara, terus terang saya tidak menghiraukannya. Saya anti rasisme. Saya tidak ingin menuduh kelompok tertentu gemar melakukan kejahatan karena perawakan mereka atau stigma pada kelompok mereka. Siapapun, dari suku bangsa manapun, ber-agama apapun, memiliki potensi yang sama untuk melakukan kejahatan. Ada banyak faktor yang menyebabkan seseorang nekad melakukan kejahatan. Saya tidak ingin hilangnya ponsel saya justru memupuk atau bahkan menyemaikan rasisme pada orang lain. "Adil sejak dalam pikiran", begitu kata Pramoedya Ananta Toer. "Berprasangka buruh adalah dosa", demikian Islam mengajarkan pada pemeluknya.

Bis Transjakarta yang saya tumpangi mendekati halte terakhir, Kampung Melayu. Petugas keamanan mengingatkan kepada semua penumpang untuk bersiap diperiksa satu persatu saat keluar dari bis. Petugas keamanan banyak sekali di halte Kampung Melayu. Mereka sudah siap memeriksa. Saya diminta keluar lebih dahulu melalui pintu depan, dan menyaksikan pemeriksaan. Saya tahu semua penumpang menjadi tidak nyaman dengan pemeriksaan ini. Saya sendiri sesungguhnya sudah mengikhlaskan ponsel yang hilang itu. Kepada beberapa penumpang saya sampaikan permintaan maaf atas ketidaknyamanan yang mereka alami.

Saat pemeriksaan, saya sendiri tidak hafal ponsel saya jenisnya apa, atau nomor serinya apa. Ketika ditanya petugas, saya hanya mengatakan bahwa ponsel saya mereknya "N" dan ada radionya. Saya tidak begitu peduli pada teknologi komunikasi ini selain hanya melihat fungsinya yang harus sesuai dengan kebutuhan saya berkomunikasi. Bahkan fasilitas radio pada ponsel saya karena sepupu saya yang memilih untuk membelinya, lalu tidak jadi, dan menukarnya dengan ponsel pilihan saya yang sederhana dan tidak berwarna pula, sementara si penjual di kios ponsel di PGC telah menerima uang pembelian. Sampai salah satu penumpang memperlihatkan ponselnya, saya baru mengetahui jenis ponsel saya. "hp saya seperti ini, tapi bukan ini" kata saya pada petugas.

Pemeriksaan selesai. Saya diajak bicara oleh seorang petugas berpakaian batik. Saya pikir ia adalah komandan petugas keamanan Transjakarta jalur ini. Ia, untuk kedua kalinya, meminjam KTP dan mencatat data pribadi serta nomor yang bisa ia gunakan untuk menghubungi saya kalau ada perkembangan kasus ini. Ia lalu menanyakan apakah saya memiliki kecurigaan pada penumpang yang ada di dekat saya. Saya jawab, ya. Saya curiga pada seorang penumpang yang berdiri persis di belakang saya, yang berpura-pura membantu melakukan panggilan ke ponsel saya namun empat digit terakhir selalu salah meski saya dan beberapa penumpang di sekitar saya mengualangi bahwa nomor yang ia ketikkan di ponselnya keliru. Saya pun menyadari, ternyata orang itu tidak kelihatan saya pemeriksaan. Aneh sekali, saya baru menyadari ia tak nampak di antrian pemeriksaan. Saya ingat betul kalau ia tidak turun di halte Jatinegara, halte terakhir sebelum pemeriksaan.

Petugas berbaju batik itu mengingatkan, kalau ada orang yang dicurigai seharusnya saya beritahukan pada petugas. Saya jawab bahwa pelakunya tidak mungkin sendirian, ia pasti memiliki teman, dan tentunya mereka sudah mengenali wajah saya. Tentunya mereka akan mencari saya di hari-hari selanjutnya untuk melampiaskan rasa sakit hati karena tidak berhasil mencuri. Lain hal lagi, kalau seandainya orang yang saya curigai sampai diinterogasi sendirian, sementara ponsel saya tidak terdapat di tubuhnya atau bagian dari barang-barang bawaannya, bukan tidak mungkin ia sakit hati, merasa dipermalukan, dan bahkan menjadi dendam pada saya. Terus terang saya tidak ingin peristiwa ini berbuntut pada kekerasan pada diri saya di lain waktu. Petugas hanya mengatakan bahwa keamanan selama masih di jalur busway adalah tanggung jawab mereka.

Saya tanyakan apakah ponsel saya ada di lantai atau tidak, sambil melirik ke bibir halte dan berpikir bukan tidak mungkin ponsel saya dijatuhkan ke sana. "Tidak ada, petugas sudah memeriksa hingga ke bawah kursi penumpang". Lalu saya menyudahi percakapan dengan petugas yang baik itu. Saya sampaikan rasa terima kasih atas kesigapan petugas memeriksa semua penumpang. Setelah menjabat tangannya, saya pamit untuk mengantri Transjakarta jurusan Kampung Melayu - Kampung Rambutan untuk pulang. Pemeriksaan itu berlangsung sekitar 20 menit.

Kepada semua penumpang yang tidak bersalah namun ikut repot karena peristiwa ini, secara pribadi saya mohon maaf. Termasuk pada salah satu penumpang yang saya yakin merasa tidak nyaman ketika tasnya harus dibuka dan mengeluarkan buah-buahan yang dibeli di perjalanan untuk di bawa pulang. Saya juga suka belanja buah di pinggir jalan untuk anak dan istri di rumah kok mas. Maaf ya jadi repot begini.

Untuk semua penumpang Transjakarta, selalu berhati-hati ya. Dompet, ponsel dan barang berharga masukin ke dalam tas aja. Tasnya didekap di dada kayak ransel saya, taruh di depan. Untuk penumpang perempuan, hindari menyandang tas yang tidak ada restleting atau tanpa penutup yang rapat, juga taruh di dekapan. Semoga Anda tidak mengalami peristiwa yang seperti yang menimpa saya.

Catatan:
Foto pinjam dari ibu Lily

Baca selengkapnya....
Naning

Mengacak-acak Mainan

Inilah hal yang disuka oleh anak balita: mengacak-acak mainannya. Begitu juga Zahid. Senin lalu ia meminta semua kotak mainan dihadapkan kepadanya. Lalu ia berteriak pada ayahnya, meminta tolong supaya salah satu kotak itu dijungkirin supaya semua mainan keluar semua di lantai. Meski sudah disarankan untuk mengeluarkan satu-satu, tetap saja Zahid tidak menerima cara itu. Rupanya ia menyenangi suara-suara yang muncul dari mainan yang tumpah ruah ke lantai.


Selama 6 minggu terakhir, Zahid mendapatkan pengasuh baru. Namanya Bi Iyah. Zahid memanggilnya nenek, sebab Bi Iyah sendiri sudah memiliki beberapa orang cucu di rumahnya, Pasir Muncang, Bogor. Kesenangan Zahid membongkar mainan sedikit terganggu karena nenek suka membereskan mainan ketika anak kami ini beralih aktivitas ke hal lain, atau Zahid sedang tidur siang. Setelah mengetahui mainannya telah berada di kotak, Zahid akan marah-marah luar biasa.

Akhir pekan lalu nenek pulang ke desanya seperti biasa. Namun ternyata nenek tidak bisa lagi kembali ke rumah kami untuk mengasuh Zahid. Anak nenek yang masih duduk di bangku SD membutuhkan perhatiannya dan karena itu suami nenek tidak mengizinkan lagi untuk kembali. Kami sudah memberi kesempatan pada nenek untuk pulang ke rumah sekali dalam dua minggu. Namun kali ini ia benar-benar tidak bisa kembali, meminta maaf pada kami dan berjanji akan mencarikan pengganti dari desanya. Kami tahu nenek memang baik sekali pada kami. Sebenarnya kami sedih juga karena Zahid baru mulai terlihat bisa akrab dengan nenek. Cukup lama untuk Zahid menyesuaikan diri dengan pengasuh yang baru. Sebulan pertama, Zahid masih suka nangis meminta ayahnya tidak berangkat bekerja. Ia masih minta ditemani bermain karena ibunya sudah lebih dulu berangkat bekerja pada pukul setengah tujuh.

Sejak Senin pagi, mbah putri hadir di rumah dan menemani Zahid sebelum ada pengasuh yang baru. Mulai terlihat lagi sikap manja Zahid pada neneknya. Senin itu ia bongkar semua isi kotak mainan. Ia tidak mengizinkan neneknya membereskan mainan itu. Jadilah ruang tengah penuh mainan dari pagi hingga malam hari. Saat ibunya pulang, barulah mainan itu bisa dibereskan, dimasukkan kembali ke dalam kotaknya.

Tidak hanya mainan di dalam kotak yang suka diacak-acak. Buku-buku Zahid di rak juga sering diturunkan semua ke lantai. Ia akan melihat-lihat isi buku yang di dalamnya ada gambar-gambar yang ia sedang sukai. Mulai dari gambar binatang-binatang, berbagai jenis kendaraan, hingga berupa warna-warna menarik dari isi buku. Ia akan menyebutkan semua binatang, semua warna, semua jenis alat transportasi. Ia mencoba mengingat semuanya dan bertanya yang mana ia lupa atau belum tahu apa.

Membongkar, mengacak-acak, atau apapun yang dilakukan oleh anak bukanlah aktivitas buruk. Ini semua adalah proses belajar anak yang harus difasilitasi dengan baik oleh orang tua. Sebagai orang tua kita harus memahami betul tumbuh kembang anak supaya tidak salah menyikapi apapun yang terjadi pada anak. Kami masih terus berusaha untuk memberikan yang terbaik untuk anak kami, Zahid.

Baca selengkapnya....

Kemarin, saya mencoba mengamati beberapa template yang bisa menggantikan template lama blog ini. Setelah memilih-milih, mencoba-coba, akhirnya saya tertarik pada template Terra Firma yang dibuat oleh Sadish Bala yang semula adalah template untuk blog engine wordpress, lalu dimodifikasi oleh Blogcrowds supaya bisa digunakan oleh pengguna blogspot.

Setelah menggunakan template ini, maka tautan (link) yang semula kami tempatkan di sidebar kali ini kami buatkan sendiri pada menu yang terletak di bagian atas atau tepatnya di bawah header. Di bawah ini adalah tautan yang kami buatkan. Bagi Anda, teman kami ataupun blogger yang ingin bertukar tautan, silahkan memberitahu dengan meninggalkan komentar posting, shout box atau lewat imel. Terima kasih.


Blogroll:

Aku ingin hijau
Andrea Hirata
Asma Nadia
Bucik Neng
Helvy Tiana Rosa
Isma
Pernik Ilmu
Suluk
Yusuf Islam
Yvonne Ridley


Urusan dapur:

Budi Boga
Dapur Bunda
Masak yuk
Resep Dekap
Resep Masakanku
Sedap Sekejap


Parenting:

Ayah Bunda
Balita Cerdas
Nakita
Parenting Indonesia


Pendidikan:

Asah Pena
Everything Home Schooling
Klub Guru
Learning at Home
Sekolah Indonesia

Baca selengkapnya....
Herman

Jangan Bugil deh...

Sejak April tahun lalu, saya ikut mendukung gerakan kampanye untuk tidak bugil di depan kamera (J/B/D/K). Bahkan saya sempat menanyakan banner untuk saya pasang di blog saya, dan ternyata memang sedang dipersiapkan oleh tim penggeraknya. Dengan adanya banner tersebut, saya melihat di blog teman-teman saya telah banyak terpasang banner dan juga posting yang mengkampanyekan. Gerakan ini pun meluas, dari blog ke blog, dari milis ke milis, di beberapa stasiun TV, hingga seminar dan workshop. Sebuah gerakan yang saya nilai luar biasa. Inilah salah satu bentuk kepedulian sejumlah orang pada bangsanya yang nilai-nilai sosialnya semakin merosot .

Hari ini saya membaca kabar dari Dwi bahwa telah ada buku digital mengenai J/B/D/K yang bisa diunduh gratis dari website mereka. Anda tertarik untuk ikut bergabung? Silahkan kunjungi website jangan bugil depan kamera untuk mengetahui secara lebih jauh.

Baca selengkapnya....
Herman

Andrea Hirata dan Asma Nadia

Menulis itu bisa mengasah kepekaan seseorang. Aku percaya bahwa menulis itu bisa membuat sesorang menjadi orang yang lebih baik, karena ketika ia menulis ia melihat pantulan dirinya atau pemikirannya atau permasalahan dia. (Asma Nadia)

Ibaratnya seperti pelukis. Pelukis itu disarankan untuk tidak hanya melukis, tetapi juga banyak membaca. Begitu juga penulis, memang disarankan membaca, tetapi jangan hanya membaca buku sastra. (Andrea Hirata)

Hari ini saya mengunduh (download) file rekaman wawancara Hernowo dengan dua orang sastrawan muda: Andrea Hirata dan Asma Nadia di website penerbit Mizan. Andrea Hirata adalah si penulis novel laris "Tetralogi Laskar Pelangi" dan Asma Nadia adalah salah satu pendiri Forum Lingkar Pena dan telah mendapat pengakuan pula sebagai salah seorang sastrawati yang banyak menghasilkan novel bernuansa Islam. Ada banyak hal menarik yang mereka ceritakan di wawancara itu. Tidak ada salahnya jika Anda ikut mendengarkan rekaman dalam format MP3 tersebut. Silahkan berkunjung kesini dan sini untuk mengunduhnya. Atau, bila Anda ingin mengunduhnya secara langsung, silahkan klik berikut:

  1. Wawancara dengan Andrea Hirata
  2. Wawancara dengan Asma Nadia

Untuk Anda yang menggunakan perambah Mozilla Fire Fox, klik kanan dan pilih "Save Link As". Jika menggunakan perambah Internet Explorer, klik kanan dan pilih "Save Target As" (saya lupa persisnya untuk IE ini, secara saya yang sudah sejak lama beralih ke Mozilla Fire Fox :)). Kalau saya sendiri mengunduhnya dengan menggunakan Orbit, lebih cepat dan tidak perlu menunggu, program ini sudah menjalankan perintah kita untuk mengunduh sendiri tanpa harus ditunggui.

Baca selengkapnya....
Herman

Free



Beberapa hari terakhir ini saya sedang rajin mengunduh video dari Youtube dengan menggunakan Orbit. Saya mencari video klip untuk beberapa lagu kesukaan saya. Pagi ini saya berhasil mengunduh video klip lagu Free dari Lighthouse Family. Selama ini saya hanya mendengarkan lagu itu. Tetapi kali ini, setelah melihat video klipnya, rasanya di hati begitu terenyuh, mirisss...

Lagu ini mengingatkan saya pada lagu lama awal tahun 1990-an yang dinyanyikan oleh Michael Jackson, Heal the World. Keduanya sama-sama menyerukan perdamaian di dunia. Pada akhir video klip lagu Free terdapat satu kalimat yang masih lekat dalam ingatan ini: STOP KILLING AND START HELPING. Semoga saja kebebasan untuk menjalani kehidupan yang damai itu bisa dirasakan oleh semua orang di seluruh penjuru dunia.

Baca selengkapnya....
Herman

Last Name

Ketika mendaftar untuk membuat akun beberapa imel dan layanan online lainnya, saya selalu direpotkan oleh kewajiban menuliskan last name pada formulir pendaftaran. Nama saya hanya satu kata: Saherman. Pembuat formulir berasumsi bahwa nama seseorang selalu terdiri dari dua kata, dimana kata kedua biasanya adalah nama keluarga. Tidak ada nama keluarga setelah nama saya. Akibatnya, saya seringkali harus menuliskan kata lain supaya nama saya terdiri dari dua kata. Kata "lain" itu bisa dari nama panggilan, Herman, yang saya tuliskan sebagai first name. Akibatnya, nama lengkap saya menjadi Herman Saherman.

Kebiasaan untuk memanggil seseorang dengan nama belakang rupanya bukan hanya milik orang Batak yang biasanya adalah nama marga, tetapi juga menjadi kebiasaan bangsa-bangsa yang bahasa ibunya adalah bahasa Inggris. Dengan menggunakan nama panggilan sebagai nama depan dan nama lengkap yang asli satu kata itu menjadi nama belakang, akhirnya nama panggilan saya di layar komputer yang sedang online adalah nama asli.

Kadang ketika mengisi satu formulir online, saya mengisi nama depan dengan nama asli, dan menuliskan nama belakang dengan kata Bengkulu, Jakarta, atau apalah. Akibatnya nama panggilan saya yang muncul di layar adalah nama-nama daerah itu. Saya suka geli membacanya. Bayangkan, setelah memasukkan username dan password untuk login, lalu muncul tulisan "Welcome Bengkulu" atau "Welcome Jakata".

Sebagai pemeluk Islam yang baik, orang tua saya memberikan nama pada anak-anaknya sesuai dengan tuntunan agama ini. "Nama adalah juga doa", demikian tuntunan dalam memberikan nama pada anak. Begitu pun nama saya, Saherman, yang menurut keterangan orang tua saya yang semasa sekolahnya dulu pernah belajar Islam dan bahasa Arab, nama saya mengandung arti "benar-benar manusia". Maksudnya adalah supaya kelak saya menjadi orang yang benar-benar manusia sesuai dengan tujuan penciptaan Sang Khalik: Supaya bertakwa kepada-Nya.

Demikian pula cara memberikan nama untuk anak kami, Zahid. Kata Zahid berarti orang yang Zuhud, dan Zuhud itu adalah "sikap hidup yang tidak rakus atau terlalu cinta pada kehidupan dunia". Orang yang zuhud berarti adalah orang yang menjalani kehidupan dengan seimbang dalam pencapaian kebahagiaan di dunia dan di akhirat (kehidupan abadi setelah kehidupan di dunia ini).

Tidak hanya nama dengan satu kata yang membuat repot pemiliknya. Nama yang lebih dari dua kata pun turut kewalahan ketika mengisi formulir tertentu. Bisa dibayangkan bagaimana mengisi nama-nama yang kadang disertai gelar kebangsawanan sekaligus. Bayangkan seseorang ketika hendak menuliskan namanya secara lengkap, "Raden Mas Arya Panangsang Suryo Prayogo" (maaf kalau contoh ini memiliki kesamaan dengan nama Anda atau kerabat Anda). Contoh lainnya adalah nama anak saya sendiri yang terdiri dari empat kata. Maunya supaya kata-kata pada nama merupakan doa yang semoga dikabulkan oleh-Nya, ternyata malah bikin repot.

Hal lain menyangkut penulisan. Nama saya memiliki kemiripan dengan nama-nama yang kebanyakan dimiliki orang lain. Akibatnya nama saya pun sering kali salah dituliskan oleh orang lain. Di KTP, STNK, amplop surat, data di sebuah lembaga atau organisasi, adalah beberapa tempat penulisan nama saya yang keliru. Nama saya Saherman, namun sering ditulis Suherman. Sependek pengetahuan saya (halah... ini meniru cara bicara Patra Zein, direktur YLBHI, kalau di forum diskusi), di Indonesia nama orang lain yang sama persis dengan nama saya terdapat di database pasien Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta. Ini saya ketahui ketika berobat untuk kedua kalinya di rumah sakit itu sekitar empat tahun lalu. Ketika mengecek di google, ternyata nama saya keluar begitu banyaknya. Banyaknya nama saya yang muncul dari hasil pencarian google itu bukanlah karena saya orang terkenal di seantero dunia maya, tetapi karena nama itu juga dimiliki oleh orang lain di daratan benua Eropa sana.

Kembali ke topik awal. Kesulitan mengisi formulir yang mewajibkan menulis last name bagi pemilik nama dengan satu kata atau lebih dari dua kata harusnya difasilitasi oleh pemilik atau penyedia formulir. Ada baiknya membuat formulir seperti yang kebanyakan terdapat di tanah air, yang menyediakan dua isian untuk nama, yakni nama lengkap dan nama panggilan. Dengan demikian, orang seperti saya yang memiliki nama yang hanya satu kata tidak akan menglami kerepotan semacam ini.

Baca selengkapnya....
Naning

Home Schooling

Weekend boo...lagi menunggu suami dan anak tercinta beli bakso, iseng-iseng nyiapin tumis kangkung. Karena tidak ada TV di rumah, seperti biasa sambil beraktifitas cari-cari channel yg enak di denger. Eh.. tidak sengaja ada diskusi menarik di Smart FM tentang Home Schooling. Wah kayaknya sih dah ketinggalan lama karena pas kulirik jam di dinding sudah menunjukkan pukul 11.35. "Aah tak apalah, lebih baik terlambat kan daripada tidak sama sekali" pikirku.

Ayah Edy, narasumber diskusi home schooling di smart FM ini, akan menyelenggarakan sebuah seminar bertajuk "merancang sukses anak sejak dini" di Hotel Sultan Jakarta, Sabtu 1 Januari 2008. Seminar ini memerlukan tiket senilai Rp 400.000 setiap peserta. Uang segitu dah termasuk makan sian.

Menurut Ayah Edy, mayoritas orang tua kurang PD dengan home schooling. Alasannya adalah karena khawatir anaknya tidak bisa bersosialisasi dengan orang lain. Ayah Edy mencontohkan misalnya seorang anak sekolah di SD yg jumlah siswanya 400-500 orang, toh mustahil juga dia akan bersosialisasi dengan anak-anak lain sejumlah itu. Pasti dia hanya akan berinteraksi dengan 1 atau 2 kelas aja. Sebenarnya itu tidak perlu dikhawatirkan, karena komunitas home schooling kan juga tidak sedikit, insya Allah tidak akan kesusahan dengan sosialisi. Jadi ya... masih bisa jadi salah satu alternatif lah.

Yang paling menarik adalah cerita Ayah Edy mengenai keberhasilan seorang ayah dari lima anak di yogyakarta. Beliau adalah seorang dosen pascasarjana UGM (entah aku lupa di bidang apa) yang membimbing kelima putranya di rumah. Beliau sendiri yg menjadi "dosen". Ternyata putranya berhasil membuat alat pendeteksi jantung (jelasnya apa gitu) yang sangat canggih. tapi sangat disayangkan, alat tersebut ternyata dipatenkan di Jerman, bukan di negara kita tercinta (pemerintah emang tidak pernah menghargai hasil karya anak bangsa kan?...)

Tapi...memang terserah dan kembali kepada diri kita ya, mau home schooling atau tidak. Kalau kita merasa masih cukup tenaga untuk mendidik putra-putri kita sendiri, kayaknya emang sangat baik. Kalau tidak bisa ya harus disekolahkan di sekolah yg tepat. Yang pasti kita sudah tahu ada alternatif lain menghadapi mahalnya biaya pendidikan sekarang ini.

Sabtu,12 Januari 2008

Baca selengkapnya....

Blogger Templates by Blog Forum