Monday, June 02, 2008
KTP dan Kemiskinan
Saya mengikuti diskusi menarik pada 24 April lalu. Wardah Hafidz dari Urban Poor Consortium menjadi narasumber. Topiknya sendiri cukup menarik, "Pemiskinan Perempuan dan HAM". Berikut ini beberapa realitas kemiskinan yang sempat saya catat setelah diskusi tersebut.
Identitas Kartu Tanda Penduduk (KTP) turut berperan dalam proses membuat orang miskin bertambah miskin. KTP di Indonesia tidak berlaku secara nasional. Artinya, KTP hanya menyatakan keterangan status penduduk setempat seperti tertera pada kartu itu. Di Jakarta, gubernurnya akan mengatakan "saya hanya mengurusi penduduk jakarta". Artinya ia hanya mengurusi orang-orang yang memiliki KTP DKI Jakarta. KTP menjadi persoalan besar bagi masyarakat miskin di ibukota. Kalau ada Bantuan Operasional Sekolah (BOS), kartu Keluarga Miskin (Gakin), dan segalam macam program pengentasan kemiskinan, semua hanya ditujukan kepada masyarakat dengan KTP setempat.
Dari studi yang dilakukan oleh UPC, Ada 53 program pengentasan kemiskinan pada 2007. Dengan program baru setelah selesai tahun 2007 lalu, maka tidak kurang dari 60 program pengentasan kemiskinan dibuat oleh pemerintah pada 2008 ini, serta program-program itu tersebar di semua departemen pemerintah. Kalau dipikir-pikir, sebenarnya menjadi orang miskin di Indonesia sudah sangat nyaman dan hebat, sebab semua sudah diurus oleh Pemerintah. Namun semua itu terganjal oleh Politik KTP. Orang misin tidak bisa berobat secara gratis di rumah sakit karena KTP yang menyatakan bukan penduduk Jakarta. Apalagi yang tinggal di kolong-kolong jembatan, kolong tol, atau pemukiman kumuh di sepanjang rel kereta, kebanyakan dari mereka tidak memiliki KTP DKI Jakarta.
Orang-orang yang tinggal di kolong tol, sebagai satu contoh, secara defakto adalah orang-orang paling miskin di DKI Jakarta. Namun mereka tidak bisa mendapatkan akses pada program pengentasan kemiskinan karena terbentur persoalan KTP. Mereka hanya memeliki KTP daerah asal, seperti katakanlah Kabupaten Brebes-Jawa Tengah.
Pada akhirnya, beban kemiskinan ini akan menimpa perempuan, seperti mengurus akte kelahiran dan mengurus sekolah anak-anak mereka. Dari pengalaman pendampingan, kalau orang tua tidak punya KTP, maka tidak ada akte kelahiran, dan akhirnya anak mereka tidak bisa sekolah. Ketika si bapak harus bekerja, maka ibunyalah yang akan mengurusi keribetan birokrasi yang ada mengurusi surat-surat keterangan yang dibutuhkan untuk kepentingan anak-anak mereka. Sementara, dalam mengurus surat-surat itu justru suara laki-laki lebih didengarkan.
Cerita Wardah di atas betul-betul realitas yang mengenaskan, sebuah negara dengan pemerintah yang abai terhadap warganya. Berkaitan dengan program pengentasan kemiskinan, seorang teman yang seorang sopir pribadi punya cerita lain. Untuk mendapatkan fasilitas berobat gratis atau kartu/surat Keterangan sebagai Keluarga Miskin sungguh-sungguh bisa dibeli. Nyatanya, temannya teman saya itu bisa mendapatkan dengan cara membayar pada ketua Rukun Rukun Tetangga (RT), Ketua Rukun Warga (RW), atau bisa langsung pada Kepala Desa (Kades). Nah, untuk mendapatkan surat keterangan itu, maka ia harus mengeluarkan biaya sekitar 200 ribu rupiah. Uang sebesar itu tentunya jauh lebih murah daripada jumlah uang yang harus dibayarkan ke rumah sakit-rumah sakit pemerintah yang sekarang nyaris udah diswastakan semua itu. Tetapi bagi mereka yang berada di kolong jalan layang, uang sejumlah itu amat sulit didapat, apalagi jika membutuhkan secara cepat karena anak mereka sedang dalam "kondisi gawat".
Pengalaman lain saya hadapi. Sekitar sebulan lalu, di RT tempat tinggal kami dilakukan pembagian formulir untuk mendapatkan paket kompor dan tabung gas. Hanya mengisi formulir dan melampirkan fotokopi KTP. Dan Kartu Keluarga beserta KTP kami memang sudah menerangkan kalau kami adalah penduduk di perumahan itu. Saya terheran-heran mendapati formulir yang disodorkan oleh aparat RT itu. Saya katakan pada istri bahwa kami tidak berhak atas itu. Keluarga kami memang hanya pas-pasan, rumah masih ngontrak, dan tidak ada televisi di rumah kami.
Lingkungan tempat tinggal kami adalah perumahan para "abdi negara". Rumah-rumah di sini hanya tinggal beberapa tahun lagi akan lunas pencicilannya. Serta nyaris tidak ada pengangguran murni di sini. Penduduk di lingkungan kami tidak termasuk miskin meski tidak juga kaya semua.
Namun setelah beberapa jam kemudian, tetangga sebelah menyarankan untuk mengambil saja paket subsidi itu. "Nanti dinilai sombong oleh lingkungan". Kami tahu, hal-hal sepele seperti ini sering menjadi pergunjingan, entah di kalangan ibu-ibu ataupun bapak-bapak di sini. Akhirnya, kami isi formulir itu dan kami serahkan kepada sekretaris RT. Niatnya, setelah paket itu kami terima, akan kami salurkan pada orang di desa yang lebih berhak menerimanya.
Saya berpikir, sekian banyak program pengentasan kemiskinan, tak sedikit yang tidak tepat sasaran karena memang pemerintah dari level Atas sampai bawah tidak terlalu serius menangani data. Juga tidak jelas menetapkan indikator kemiskinan. Di lain pihak, mereka yang sesungguhnya tidak lagi berhak menerima subsidi, masih saja berharap dan berusaha mendapatkannya. Aneh, kenapa semakin banyak orang menjadi "tumpul rasa" di hatinya.
Post a Comment